Liputan CNBC: RI Komit Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca, APBN Sanggup Berapa?

Hadir sebagai salah satu narasumber pada acara Forum Bisnis Net-Zero Emission pada Jumat 17 Maret 2022 yang diselenggarakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), Masyita sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi berbagi sudut pandang dari pemerintah mengenai pendanaan Transisi Energi Hijau. Masyita juga hadir bersama dengan Kepala Group Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK Enrico Hariantoro, dan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Laksmi Dhewanthi, dengan moderator Ekonom Senior INDEF Aviliani. Simak liputan CNBC Indonesia dalam bahasan terkait pendanaan Transisi Energi Hijau di bawah. [tautan]

 

***

 

Jakarta, CNBC Indonesia – Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin buka-bukan mengenai kemampuan pemerintah dalam pendanaan transisi hijau. Dana APBN hanya akan membiayai sekitar 30% saja.

“Transisi hijau hanya 30% yang dikover APBN secara langsung. Sehingga dalam hal ini kita tidak bisa hanya melihat APBN dalam total pembangunan (energi terbarukan),” ujarnya dalam Forum Bisnis: Net Zero Emission yang digelar PT SMI (Persero) di Jakarta, Kamis (17/3/2022).

Oleh karenanya, pemerintah akan mencari mekanisme pembiayaan lainnya untuk memenuhi kekurangan pendanaan sekitar 70% tersebut. Di antaranya, kerja sama bisnis dengan sektor swasta hingga orang kaya yang tergabung dalam kelompok filantropi dunia.

Menurutnya, dalam kerja sama ini pemerintah akan mendorong pembiayaan hijau katalitik. Sebab, dengan pembiayaan katalitik ini maka keterlibatan swasta dalam pembiayaan infrastruktur hijau di Indonesia akan difasilitasi oleh pemerintah.

Artinya, ini akan meyakinkan pendanaan dari sektor ini lebih yakin untuk masuk ke proyek hijau dalam negeri karena ada jaminan dari pemerintah.

“Jadi APBN itu kita gunakan sebagai catalytic financing dan itu kita pake BUMN dan PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur) langsung di bawah Kementerian keuangan dan kita mengharapkan 70% nanti berhasil cruding in private investment,” jelasnya.

Lanjutnya, dalam jangka pendek ini proses transisi energi hijau akan sedikit lambat karena situasi yang membuat harga minyak melambung tinggi. Namun, ia menekankan bukan berarti proses energi hijau ini tidak berjalan.

“Orang sekarang melihat karena commodity price naik, transisi hijau terancam. Kalau kita lihat short term memang kayaknya akan slow down sedikit, tapi kalau di lihat long run ini akan memberikan insentif bagi orang-orang untuk betul-betul transfer ke renewable,” kata dia.

Saat ini, ia menilai bahwa pemerintah memang tengah berhati-hati dalam menyusun kebijakan transisi hijau ini. Apalagi di saat kondisi kekhawatiran terjadi krisis energi akibat perang Rusia dan Ukraina.

Oleh karenanya, pemerintah tak ingin terlalu jor-joran harus mempercepat transisi energi ini yang justru bisa menjadi boomerang.

“Jadi memang isunya besar, kalau beralih terlalu cepat kayak kasus Eropa, pada saat terjadi krisis energi mereka langsung balik arah ke coal dengan malah full. Jadi memang base load dan ketahanan energi, over supply dan ketahanan fiskal harus seimbang. Jadi memang agak susah-susah gampang,” pungkasnya.

 

 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Pin It on Pinterest

Share This