Masa depan bumi kita semakin tergantung pada tindakan yang lebih tegas dan ambisius dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Saat ini, kita sudah menyaksikan suhu bumi meningkat sebesar 1,1℃ dibandingkan dengan era pra-industri, mendorong kebutuhan akan tindakan pengurangan emisi yang lebih kuat. Global Stocktake pertama pada tahun 2023, menyatakan bahwa target awal yang ditetapkan dalam Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5℃, kini dihadapkan pada tantangan nyata dalam pencapaiannya, diantaranya terkait mobilisasi pendanaan transisi
Apa yang melatarbelakangi tantangan tersebut ada? Bagaimana strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi hambatan ini? Dalam Oped ini, saya berusaha merinci tantangan yang harus diatasi dan langkah-langkah ambisius yang dapat diambil untuk mewujudkan komitmen Paris Agreement.
Akses selengkapnya di sini.
Tahun 2023 dinyatakan sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat menurut World Meteorological Organization (WMO), mencapai 1,4℃ di atas era pre-industri, kemarau datang terlambat namun ekstrim dengan temperatur yang sangat tinggi, salah satu dampak perubahan iklim yang terasa secara langsung. Kemarau panjang dan ekstrim kali ini menyebabkan produksi pangan berkurang dan krisis air di berbagai wilayah Indonesia.
Isu perubahan iklim sebenarnya mendapatkan momentum yang besar saat ini. Di level global, setiap tahunnya, di akhir tahun, para pemimpin dunia berkumpul pada Conference of Parties (COP) untuk melakukan peninjauan terkait Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Agenda utama dari pertemuan COP adalah untuk membahas kemajuan setiap negara terkait komitmen penurunan emisinya yang tercakup di dalam Nationally Determined Contributions (NDC).
Pada tahun 2015, para negara anggota UNFCCC berhasil mengeluarkan target global pertama untuk perubahan iklim yang dikenal sebagai Paris Agreement, atau Perjanjian Paris. Perjanjian global ini mengikat negara anggota untuk menjaga peningkatan suhu untuk tidak melebihi 2 derajat Celcius (℃) atau idealnya 1,5℃ pada 2030. COP 28 tahun ini diselenggarakan di awal Desember ini, lantas, bagaimana performance dunia sejauh ini?
Penerapan Global Stocktake
Tahun ini secara resmi menjadi tahun pertama dilaksanakannya Global Stocktake. Global Stocktake adalah inventarisasi global untuk mengukur kemajuan kolektif negara-negara dalam upaya penurunan pemanasan global. Proses ini dirancang dalam kerangka Perjanjian Paris untuk mengevaluasi aksi iklim semua negara parties setiap lima tahun, dengan stocktake pertama dijadwalkan pada momentum COP ke-28 ini.
Utamanya Global Stocktake mengevaluasi kemajuan iklim pada tiga area kunci, yakni mitigasi, adaptasi, dan pelaksanaan keuangan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Menurut laporan Global Stocktake dari UNFCCC, dunia masih jauh tertinggal dalam upaya memenuhi target 1,5℃ sesuai dengan Perjanjian Paris. Saat ini saja, pemanasan global kita telah mencapai 1,1℃, artinya mencapai 1,5℃ sudah hampir tidak mungkin. Seiring dengan itu, laporan terkini dari UNEP (United Nation Environment Program) mengenai kesenjangan emisi menambahkan bahwa hanya tersisa peluang sebesar 14 persen bagi dunia untuk berupaya membatasi pemanasan hingga di bawah ambang batas 1,5℃.
Artinya, kesempatan kita sudah semakin sempit dan aksi yang diperlukan harus lebih agresif daripada sebelumnya. Oleh karena itu, COP 28 seharusnya menjadi momen yang tepat bagi pemimpin global untuk mengidentifikasi pencapaian saat ini dan apa yang perlu dilakukan untuk mengejar ketinggalan dalam mencapai target Perjanjian Paris.
Global Public Goods
Salah satu yang membuat aksi perubahan iklim sulit dilakukan adalah ketidaksetaraan titik mulai dan besaran akumulasi sumbangan emisi setiap negara. Negara maju tentu sudah memiliki akumulasi emisi yang jauh lebih besar, selain itu negara berkembang masih memerlukan energi untuk terus tumbuh, apalagi jika ingin naik pangkat menjadi negara maju.
Salah satu tantangan terbesar dari aksi perubahan iklim, adalah karena Ia merupakan global public goods (GPG) atau barang publik global. Sama seperti barang publik lain yang jika penanganannya dilepas melalui mekanisme pasar biasa, tidak akan optimal. Mirip sebetulnya dengan pandemi Covid-19 yang merupakan barang publik global. Namun, pandemi memiliki elemen urgency dan dampak dari inaction yang terlihat secara langsung. Sehingga, terlepas dari kegamangan di awal, semua negara dan institusi internasional bahu-membahu untuk mengatasinya. Bayangkan saja, dunia berhasil memobilisasi penanganan pandemi di level global sebesar 11 triliun USD, sementara untuk iklim, untuk mencapai target Perjanjian Paris hingga 2030 sebesar $2,4 triliun per tahun saja sulit (Finance for Climate Action, 2022).
Sayangnya, walau sama-sama GPG, perubahan iklim tidak langsung terasa dalam jangka pendek pada seluruh negara di dunia, sehingga lebih sulit untuk memobilisasi komitmen sekuat pandemi. Negara-negara penyumbang akumulasi terbesar tidak selalu menjadi negara yang paling terdampak. Menurut data dari carbonbrief.org, secara akumulasi sejak tahun 1850 hingga 2021, negara-negara penyumbang emisi terbesar adalah Amerika Serikat, Cina dan Rusia. Sedangkan, negara yang merasakan dampak langsung adalah negara-negara kepulauan kecil yang tidak berdaya.
Walau negara berkembang dan miskin yang paling merasakan dampaknya, para pakar dunia setuju bahwa negara maju haruslah bertanggungjawab lebih banyak terhadap pemanasan global. Alasannya sederhana, mereka lebih dulu melakukan kegiatan yang menyumbang pada pemanasan global dan lebih mampu secara finansial. Selain itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Brazil masih butuh berkembang untuk mensejahterakan rakyatnya. Alasan ini pula yang melatarbelakangi diterapkannya prinsip common but differentiated responsibility (CBDR) oleh UNFCCC, sebagai dasar untuk membedakan tanggung jawab negara-negara terhadap perubahan iklim, dengan memperhitungkan kontribusi historis dan kapabilitasnya masing-masing.
Janji negara maju untuk menggelontorkan dana konsesi untuk aksi iklim sebesar $100 miliar tiap tahunnya terasa seperti basa-basi. Implementasinya jauh dari kata ideal. Bahkan, diskusi COP tahun ini membahas pula kebutuhan pendanaan dari negara berkembang sendiri, seakan menggeser janji awal. Saling tuding tentu saja tidak akan menyelesaikan masalah yang kian mendesak dan semakin memburuk. Apalagi bumi kita hanya satu. Semua pihak harus menjalankan peran sesuai porsinya sebagaimana prinsip common but differentiated responsibility.
Menyiasati ketimpangan transisi energi
Negara-negara maju harus memastikan aliran pendanaan hijau dengan perluasan dan restrukturisasi besar-besaran baik pada pendanaan dalam negeri maupun internasional, baik yang bersumber dari sektor publik maupun swasta. Menurut laporan “Finance for Climate Action” (2022), diproyeksikan bahwa negara berkembang (EMDC) akan membutuhkan aliran pendanaan terkait iklim sebesar $1 triliun per tahunnya sampai 2030. Indonesia sendiri memperkirakan butuh Rp 4.000 triliun untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 2030 (BUR, 2022).
Pendanaan ini tentu tidak bisa hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) saja. Besarnya biaya transisi adalah untuk memastikan bahwa upaya transisi energi harus mempertimbangkan keseimbangan “trilema energi” yaitu keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan. Penting untuk memastikan bahwa transisi energi dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tetap menjaga keterjangkauan harga energi. Sementara itu, dalam upaya penurunan emisi karbon (keberlanjutan), perlu dipastikan bahwa keandalan energi tetap menjadi prioritas.
Akan tetapi negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan proses yang tidak sebentar untuk menerapkan praktik rendah emisi pada sektor energi. Di ASEAN+3 rata-rata umur pembangkit batu bara adalah 11 tahun, sementara di Eropa sudah 34 tahun. Bisa dibayangkan biaya transisi yang berasal dari stranded asset saja pastinya lebih besar bagi negara berkembang. Padahal sektor keuangan global masih merasa gamang dalam mendanai aktivitas transisi seperti penghentian dini PLTU batu bara. Karenanya, negara berkembang perlu terus menyuarakan perlunya pengembangan ekosistem pendanaan transisi di level global. Indonesia sendiri telah berupaya dengan mendorong masuknya aktivitas transisi dalam taxonomi pendanaan hijau ASEAN. Namun negara maju perlu pula mengakui taksonomi transisi seperti ini, karena justru pendanaan swasta yang diperlukan justru sebagian besar berasal dari sana.
Pertemuan COP 28 tahun ini, yang diiringi dengan penerbitan Global Stocktake pertama, menawarkan kesempatan bagi seluruh dunia untuk mengevaluasi kembali tindakan mereka masing-masing dalam upaya mengurangi emisi yang sejalan dengan target 1,5℃. Ini menjadi momentum untuk menciptakan solusi transformasional guna mengakselerasi aksi mitigasi dan adaptasi, mengawal transisi yang berkeadilan, serta memastikan dukungan pendanaan terpenuhi. Pada intinya, pada COP28 para pemimpin tidak lagi boleh bicara retorika saja, namun harus mampu merespons hasil stocktake lewat tanggung jawab yang nyata dan menetapkan komitmen iklim nasional yang lebih ambisius.