Artikel ini dimuat di Jawapos.com [tautan]
Hingga saat ini pemerintah belum merasa perlu memberlakukan lockdown secara nasional. Namun, kami terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) yang lain mengenai pandemi Covid-19.
Sebagai pengelola APBN, kami membuat beberapa skenario sesuai risiko yang dapat timbul akibat pandemi ini. Mulai skenario yang paling masuk akal, skenario dengan risiko menengah, sampai skenario terburuk.
Skenario itu kami siapkan untuk memitigasi dampak ekonomi yang dapat terjadi. Sebagai gambaran, tadinya banyak pihak yang memprediksi kondisi ini akan berakhir dalam satu kuartal. Namun, kelihatannya bisa lebih panjang, bahkan sampai kuartal II. Apabila persebaran pandemi ini dapat dihentikan pada kuartal II, dampak ekonominya bisa sampai akhir tahun. Jika persebarannya belum berakhir pada kuartal II, ya bisa jadi akan ada dampak ekonomi yang lebih panjang.
Saat ini pemerintah telah memberikan beberapa kebijakan yang dapat menekan dampak ekonomi Covid-19 agar tidak makin buruk. Di antaranya, stimulus pajak untuk sektor tourism, kemudahan impor bahan baku, serta percepatan penyaluran dana desa. Semua dilakukan supaya ekonomi tidak kian terpuruk. Sebab, dari risiko teringan dari dampak ekonomi Covid-19 yang kami perkirakan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan melambat. Pada Lebaran nanti, misalnya, konsumsi rumah tangga naik. Namun, tidak akan setinggi pada Lebaran tahun-tahun sebelumnya. Demikian pula dengan pertumbuhan ekonomi, bisa jadi melambat di bawah 5 persen.
Hal itu disebabkan pandemi Covid-19 menekan ekonomi Tiongkok yang merupakan mitra dagang serta banyak berhubungan dengan Indonesia dari sisi ekonomi. IMF juga telah memperkirakan dampak ekonomi yang timbul akibat Covid-19 bisa jadi akan terasa lebih panjang daripada krisis finansial global. The Fed sudah memotong suku bunga dan melakukan quantitative easing dalam jumlah yang sangat besar. Tentu, itu berdampak pada pasar finansial.
Bukan hanya itu, supply side kita juga terpengaruh. Untung, saat ini Tiongkok sudah mulai recovery. Aktivitas ekonomi di Tiongkok sedikit demi sedikit membaik jika dibandingkan dengan ketika Covid-19 mencapai puncak persebarannya beberapa waktu lalu. Hanya, negara-negara lain, termasuk Indonesia, saat ini masih berjuang untuk menghadapi isu kesehatan tersebut.
Dengan kebijakan fiskal dan nonfiskal yang sudah diumumkan, kami berharap bisa menolong perekonomian. Tidak hanya bagi pekerja formal yang mendapat pelonggaran pajak. Pekerja informal juga akan kami dorong ekonominya lewat percepatan penyaluran dana desa dan bantuan sosial (bansos). Pelaku industri juga harapannya bisa lebih mudah mendapatkan impor bahan baku.
Beberapa waktu lalu, ketika Tiongkok mengalami penurunan purchasing manufacturing index (PMI) menjadi 35,7, Indonesia sebenarnya sudah melakukan substitusi impor. Semoga stok bahan baku yang sudah ada dapat mendukung aktivitas produksi dalam negeri. Meskipun, saat ini kita disarankan untuk social distancing.
Beruntungnya juga, ekonomi sangat bergantung pada konsumsi domestik. Perlambatan demand yang kemungkinan terjadi tidak akan sebesar negara lain yang punya paparan besar terhadap perdagangan global. Sebut saja Singapura dan negara-negara Asia lainnya.
Apakah kita perlu meminjam uang dari Bank Dunia untuk mengatasi dampak ekonomi akibat Covid-19? Meski ruang defisit fiskal mencapai 3 persen APBN, pemerintah pasti akan sangat berhati-hati untuk itu. Karena itulah, ada beberapa skenario terkait dampak ekonomi dari pandemi ini.
0 Comments