Komitmen Negara-negara untuk menghadapi perubahan iklim yang terdapat dalam Paris Agreement tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi dan keuangan serta peran penting dari Menteri Keuangan dalam mengatasi krisis ini. Koalisi Menteri Keuangan Negara-negara berpedoman pada The Helsinki Principle 6, yakni enam prinsip aspiratif dan tidak mengikat yang mempromosikan aksi iklim nasional terutama melalui kebijakan fiskal dan keuangan publik, dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC). Pertemuan 6th ministerial meeting Coalition of Finance Minister for Climate Action merupakan langkah awal rencana kerja untuk memformulasikan pesan dan dukungan koalisi dalam COP26 di Glasgow, Britania Raya, pada 31 Oktober hingga 12 November 2021 . Selain merumuskan rencana kerja, pembahasan lainnya adalah menyusun desain reformasi proses transisi menuju pembangunan rendah emisi yang adil dan terjangkau, termasuk elaborasi mengenai carbon pricing dan sistem penganggaran hijau yang efektif.
Dalam koalisi Menteri Keuangan untuk aksi iklim ini, para Menteri Keuangan negara anggota koalisi berbagi perspektif mengenai tantangan dalam mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim dalam sudut pandang ekonomi, fiskal, dan keuangan. Misalnya, untuk carbon pricing (Nilai Ekonomi Karbon, NEK), perlu diterapkan dengan kebijakan pendukung lainnya seperti penggunaan penerimaan yang diperoleh dari pajak karbon, perlu dimanfaatkan secara adil dan mendorong aksi iklim yang lebih banyak lagi serta berdampak lebih luas. Di samping itu, kegiatan juga ini menjadi forum untuk Sharing mengenai kondisi yang dihadapi masing-masing negara, bertukar pengalaman dan kebijakan, akan mampu memberikan gambaran praktik terbaik yang perlu didesain, diimplementasikan, dan dikawal aplikasinya.
Dengan adanya koalisi tersebut, Indonesia memperoleh manfaat berupa akses pengetahuan terkini di bidang kebijakan ekonomi dan keuangan yang memperhatikan aspek perubahan iklim. Hal ini sangat signifikan dalam pengembangan berbagai instrumen kebijakan di masa mendatang agar dapat diimplementasikan secara efektif, efisien, dan bersinergi dengan berbagai inisiatif global.

Climate Budget Tagging dan Carbon Pricing
Climate Budget Tagging (CBT) atau pendanaan anggaran iklim yang telah diterapkan di tingkat nasional sejak 2016 adalah proses penandaan, pelacakan, dan identifikasi output dan anggaran perubahan iklim dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Mekanisme pendanaan anggaran perubahan iklim ini mulai dikembangkan ke daerah sejak tahun 2020 melalui inisiatif Regional Climate Budget Tagging (RCBT) dengan 11 daerah yang menjadi pilot. Kemenkeu bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah untuk menerapkan RCBT. Sebelum implementasi RCBT, dari hasil analisis pada APBD selama 2017-2020, dari sebelas daerah tersebut didapatkan bahwa lebih dari 34% anggaran mitigasi digunakan untuk sektor kehutanan. Sedangkan anggaran aksi adaptasi digunakan untuk mendukung ketahanan air (44%), disusul oleh ketahanan pangan (35%), serta ketahanan pesisir dan kelautan (21%).
NEK telah diterapkan di banyak negara dan diyakini menjadi salah satu faktor kunci menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), selain sebagai salah satu sumber pembiayaan perubahan iklim. Secara umum, NEK adalah pemberian harga atau valuasi atas emisi gas rumah kaca/karbon. Implementasi kebijakan pajak karbon mempertimbangkan waktu yang tepat, terutama setelah proses pemulihan ekonomi. Tahapan pengenaan NEK yang direncanakan yaitu:
- Tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon.
- Tahun 2022-2024, diterapkan mekanisme cap and tax untuk sektor pembangkit listrik terbatas PLTU batubara dimulai tahun 2022 dengan tarif US$2/ton CO2.
- Tahun 2025 direncanakan untuk implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan pentahapan sesuai kesiapan sektor terkait.
***