Persiapan anggaran insentif non fiskal dan insentif fiskal untuk pengembangan EBT
Pemerintah telah memberikan insentif fiskal maupun non fiskal untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Insentif fiskal dari sisi penerimaan, seperti tax holiday yang diberikan untuk industri-industri pioneer khususnya untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan. Selain itu ada tax allowance yang juga akan diberikan kepada sektor EBT seperti geothermal (energi panas bumi) dan pembangkit listrik EBT lainnya. Di luar itu ada juga fasilitas PPN untuk mengembangkan energi terbarukan.
Sedangkan dari sisi belanja, dalam 5 tahun terakhir, pemerintah telah melakukan climate budget tagging untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang mencapai 4,1% dari APBN. Selain itu sejak 2018, pemerintah telah menerbitkan green sukuk, sedangkan pada tahun 2021, Pemerintah baru menerbitkan Global Green Sukuk pertama dengan tenor 30 tahun senilai $750 juta dan SDGs Global Bond senilai € 500 juta. Ini menunjukkan tingginya kepercayaan investor hijau atas upaya Pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim. Walaupun Pemerintah telah melakukan upaya-upaya Green Incentive, saat ini Pemerintah juga sedang menyusun Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim (Climate Change Fiscal Framework/CCFF) untuk memperkuat pembiayaan berkelanjutan, termasuk pencapaian NDC dengan melibatkan masyarakat dan swasta. Salah satunya bagaimana kita menarik investor, memastikan proyek-proyek dapat berjalan menbcapai tujuan untuk pemerataan bauran energi, tanpa membebani APBN telalu banyak.
Efektifitas penerapan pajak karbon.
Aspek yang perlu diperhatikan agar Penerapan pajak karbon efektif antara lain:
- Komitmen bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat secara luas tentang pentingnya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dalam rangka pengendalian perubahan iklim. Pengendalian perubahan iklim menjadi prioritas agenda pembangunan nasional Pemerintah, seperti yang telah disampaikan Presiden RI dalam acara KTT COP26 di Glasgow, dan disahkannya penerapan pajak karbon dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), serta penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon, dan masih banyak usaha Pemerintah lainnya. Pajak karbon harus dilihat sebagai kebijakan pemerintah yang memberikan ruang kepada pengusaha untuk berpartisipasi dalam upaya penurunan emisi GRK secara nasional oleh para pelaku usaha.
- Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan komplementer untuk meminimalisasi dampak pengenaan pajak karbon.
- Transparansi dan akuntabilitas untuk membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah, karena faktanya, perubahan iklim merupakan isu yang kompleks dan sarat ketidakpastian.
Penerapan pajak karbon pada sektor PLTU Batubara pada 1 april 2022 dengan tarif Rp30 per kilogram CO2 dilakukan untuk transisi secara bertahap dengan mempertimbangkan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, serta kondisi ekonomi. Selain itu Pemerintah juga memastikan transisi ini adil dan terjangkau. Tarif Pajak Karbon yang akan diterapkan cukup rendah, hal ini disesuaikan dengan negara tetangga, untuk memudahkan pelaku usaha di masa pemulihan ekonomi agar tidak terlalu tinggi, tetapi juga dapat mendorong pasar karbon dan memberikan waktu yang cukup bagi pelaku usaha untuk memulai transformasi teknologi dan investasi yang rendah karbon, ramah lingkungan, dan efisien.