Masyita Crystallin berbagi pengalamannya selama tumbuh hingga bisa duduk di samping idolanya, Bu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati kepada reporter Majalah Pajak (link di sini). Masyita Crystallin diangkat menjadi Staf Khusus Menkeu Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi satu bulan sebelum kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Tugas Staf Khusus dan Tenaga Ahli adalah memberi masukan kepada menteri atau unit eselon yang lain, sesuai bidang keahlian masing-masing.
***
Majalah Pajak- Begitu kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati langsung menginstruksikan jajarannya, termasuk kepada Staf Khusus Menkeu Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin, untuk mempelajari Flu Spanyol yang terjadi di tahun 1918. Menkeu memprediksi akan adanya dampak yang lebih besar dari Flu Spanyol. Seluruh staf harus menyiapkan gagasan kebijakan yang tak biasa, termasuk merumuskan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 sekaligus menjadi shock absorber bagi perekonomian.
Masyita, yang ketika itu baru satu bulan menjabat, harus beradaptasi dengan pekerjaan yang menuntut kecepatan dan ketepatan itu.
“Bu Menteri langsung memberi arahan agar APBN melakukan peran sebagai kebijakan kontrasiklus dan melebarkan defisit APBN di atas tiga persen, setelah WHO mengumumkan status pandemi tanggal 11 Maret dan pasar finansial global mengalami sudden stop sejak 20 Maret,” kata Masyita, kepada Majalah Pajak, Senin (14/12).
Tugas staf khusus dan tenaga ahli, kata Masyita, adalah memberi masukan kepada menteri atau unit eselon yang lain, sesuai bidang keahlian masing-masing. Masyita dan timnya harus melihat isu ekonomi secara lebih komprehensif supaya kebijakan yang dikeluarkan juga lebih baik.
Seperti kita tahu, Kemenkeu kemudian menyusun Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Perppu yang kini menjadi UU Nomor 2 ini menetapkan bujet penanganan korona dan pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 695,2 triliun.
“Untungnya, pada saat menghadapi pandemi, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan disiplin fiskal tinggi, dengan defisit diatur untuk tidak melebihi tiga persen sesuai undang-undang. Istilahnya, sebagai manusia kalau kita enggak boros, tabungan kita cukup,” kata Masyita.
Sebelum pandemi, rasio utang terhadap produk domestik bruto Indonesia berada pada level aman, sekitar 30 persen—jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara dengan rating yang sama, yang rata-rata di atas 50 persen dari PDB.
Dua klaster
Dalam menentukan kebijakan ekonomi, lanjutnya, terdapat dua klaster. Ada yang disebut kebijakan sisi permintaan dan kebijakan sisi penawaran. Kebijakan sisi permintaan biasanya bertujuan untuk membantu menggerakkan siklus bisnis dalam jangka pendek melalui kebijakan fiskal dan moneter.
Masyita menjelaskan, saat perekonomian di atas potensialnya, biasanya inflasi tinggi, maka dilakukan kontraksi fiskal atau moneter. Sebaliknya saat ekonomi sedang di bawah potensial, atau dalam periode resesi, dilakukanlah kebijakan ekspansi. Kebijakan ekspansi bertujuan memperbesar kegiatan perekonomian di saat negara menghadapi peningkatan pengangguran dan menurunnya kapasitas produksi.
Dengan kebijakan yang sudah diambil saat ini, Masyita berharap pemulihan ekonomi Indonesia dapat berpola V-shape atau Nike-shape, yakni terjadi penurunan dan pemulihan yang relatif cepat—bukan berpola L-shape (ekonomi turun dramatis tapi terjadi lambat pulih) atau W-shape (terjadi gelombang resesi ke dua atau ketiga).
“Melihat berbagai indikator, perekonomian sudah mencapai titik balik di kuartal ketiga 2020 dan terus dijaga momentumnya di kuartal empat,” kata Masyita. “Di tahun 2021 perekonomian diharapkan dapat kembali ke 5 persen di tahun 2021 setelah tahun ini di sekitar -2,2 hingga -1,7 di tahun 2020.”
Menurut Masyita, pemerintah sudah melakukan porsinya dengan menerbitkan berbagai kebijakan, sehingga kini giliran kita untuk membantu juga dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. “Karena pemulihan ekonomi erat kaitannya dengan kondisi penanganan kesehatan,” tegasnya.
Transformasi struktural
Sembari fokus pada pemulihan ekonomi, pemerintah melakukan transformasi struktural untuk mendorong sisi penawaran. Langkah ini penting untuk pemulihan di tahun 2021 dan mewujudkan visi Indonesia emas 2045 yang tercermin dari APBN 2021. Alokasi anggaran infrastruktur, misalnya, mencapai sekitar Rp 413,8 triliun dan pembangunan bidang teknologi dan informasi atau information and communication technologies/ICT kurang lebih Rp 29,6 triliun.
“Investasi pemerintah ini diharapkan dapat menjadi katalisator bagi investasi swasta, sehingga terjadi crowding in investasi,” ungkap Masyita.
Transformasi struktural turut diupayakan melalui pengesahan UU Cipta Kerja pada November 2020 silam. Regulasi ini diyakini mampu menciptakan segala efek berganda untuk kemajuan Indonesia. Pemerintah juga melanjutkan reformasi perpajakan. Indonesia diakui dunia internasional sebagai negara yang melakukan reformasi ekonomi di masa pandemi.
“Bu Menteri selalu bilang, ‘Kita harus memperbaiki diri di setiap krisis. Memperbaiki kebijakan, dengan anggaran yang tidak tak terbatas, kita memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat,’” ungkap Masyita.
Mau jadi guru
Sebelum menjadi ekonom, Masyita adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI). Pilihan alumnus Australian National University ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya merasakan kesenjangan pendidikan desa dan kota. Masyita kecil sekolah di beberapa daerah di Jambi, mulai dari desa Pelabuhan Dagang, lalu pindah ke Kecamatan Nipah Panjang, hingga menetap di Ibu Kota Jambi.
“Waktu itu orang tua saya dinas di daerah di tempat bertugas itu belum ada listrik. Saya tidak sempat merasakan sekolah TK, karena belum ada. Terus pindah ke Ibu Kota di Jambi, kualitas pendidikan jauh banget. Dari juara kelas, jadi juara kelas paling bawah,” kenang perempuan berhobi jalan-jalan ini, tertawa.
Waktu remaja ia pun membatin, “Semoga suatu saat quality of education bisa merata di seluruh Indonesia. Mau lahir di Jawa, di luar Jawa, mau lahir dari keluarga kaya atau tidak, harus sama-sama punya kesempatan yang sama untuk maju. Saya ingin jadi guru.”
Paradigma tentang pendidikan semakin komprehensif tatkala ia menimba ilmu di Universitas Indonesia (2001–2005). Pembimbing skripsinya, Muhammad Chatib Basri (Menteri Keuangan 2013–2014) semakin membuka cakrawalanya mengenai konsep kemajuan sebuah bangsa dan bagaimana kebijakan lebih dapat membantu mencapainya.
“Saya belajar, ternyata bukan hanya pendidikan, tapi berbagai aspek. Ada aspek kesehatan misalnya—sanitasi, yang memengaruhi stunting di seluruh daerah,” jelas Masyita.
Singkat kisah, setelah menjadi dosen, ia bekerja di Divisi Makrofiskal Bank Dunia sembari menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Claremont Graduate Amerika Serikat (2010–2015).
“Sebagai seorang ekonom, saya ingin mengaplikasikan ilmu di berbagai bidang—di pemerintahan, organisasi internasional, dan sektor swasta,” tekadnya kala itu.
Keinginannya terwujud. Ia mendapat amanah untuk menjadi Kepala Ekonom Bank DBS dengan coverage Indonesia dan Filipina. Ia bertugas memberi analisis ekonomi. Dari sisnilah ia mempelajari bagaimana investor menilai potensi investasi berdasarkan regulasi yang diterapkan suatu negara.
“Tugas saya antara lain memberi analisis ke berbagai klien, mulai dari corporate client, fixed income client (klien obligasi), foreign exchange (klien instrumen nilai tukar), dan equity (klien saham), retail client dari klien di Indonesia maupun dari luar, utamanya di Singapura dan Hongkong,” ungkapnya.
Dengan pengalaman multiperspektif itu, Masyita berharap ia telah turut merumuskan kebijakan terbaik demi pemulihan dan kemajuan tanah air.
0 Comments