Di pertengahan bulan Mei 2023, Masyita menempuh 10 jam penerbangan dari Indonesia guna memenuhi undangan Special Visit Programme to Australia yang diselenggarakan oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia. Program yang dilakukan selama satu minggu (14-19 Mei 2023) ini memperkenankan Masyita untuk mempelajari kebijakan, institusi, dan budaya Australia dalam menghadapi isu-isu tertentu dan menjadi kesempatan bagi Masyita untuk sharing mengenai bagaimana Indonesia merespon isu-isu tertentu. Pada perjalanan ini, Masyita bertemu dengan pembangku kepentingan di berbagai institusi yang mengelola isu energi, nature, hingga makro-fiskal di Australia.
Di hari pertamanya, Masyita bertemu dengan beberapa orang dari DFAT yaitu Lauren Bein (First Assistant Secretary Southeast Asia Maritime Division), Clara Duffield (Assistang Secretary Indonesia Branch), dan Matthew Fox (First Assistant Secretary, Climate Diplomacy, and Development Finance Division). Pada pertemuan ini, topik yang dibahas adalah seputar kerjasama Indonesia-Australia Climate Infrastructure Partnership yang diantaranya menjanjikan bentuk dukungan setara AUD 200 Juta kepada Indonesia dalam lima tahun ke depan. Sebelumnya, kerjasama ini sudah pernah diperbincangkan pada Juni 2022, tepatnya pada Indonesia-Australia Annual Leaders Meeting.
Berbagi Tentang Isu Energi
Di hari keduanya pada program, Masyita menemui Kushla Munro (First Assistant Secretary, International Climate and Net Zero Pathways, Department of Climate Change, Energy, Environment, and Water (DCCEEW)) dan tim. DCCEEW adalah bagian dari pemerintahan Australia yang fokus dalam pengelolaan isu iklim energi, dan energi terbarukan. Topik yang menjadi bintang utama pada pertemuan ini adalah National Electricity Market (NEM) yang dimiliki Australia. NEM sendiri dibangun sebagai sebuah skema pasar listrik yang mengalir di enam daerah di Austalia.
Terkait energi, Masyita juga bertemu dengan tim dari Australia Capital Territory (ACT) Government yaitu Brendan Smyth (Commissioner for International Engagement at ACT Government) dan Sam Engele (Coordinator-General for Climate Action and Head of the Better Regulation Taskforce of ACT Government). Pada pertemuan tersebut, Masyita, Brendan, dan Sam membahas mengenai energi terbarukan di kawasan ACT. ACT memiliki pencapaian yang patut diacungi jempol, di mana 100% listrik di kawasan ACT telah berasal dari EBT sejak tahun 2020. Dari sini, Masyita menggaris bawahi pentingnya ownership pemerintah daerah untuk mendukung pencapaian target iklim pemerintah pusat.
Selain itu, Masyita juga bertemu dengan tim Clean Energy Finance Corporation (CEFC), yaitu dengan Ian Learmonth (CEO of Clean Energy Finance Corporation) dan Steven Skala, AO (Chair of Clean Energy Finance Corporation). Ketiganya membahas dan berbagi tentang inisiatif-inisiatif Australia maupun Indonesia di bidang energi bersih. CEFC sendiri mendapat tugas untuk memimpin pelksanaan program Rewiring the Nation dari pemerintah pusat Australia. Secara spesifik, program tersebut berkomitmen untuk membangun infrastruktur energi bersih di Australia dengan AUD 20 miliar yang AUD 8,6 miliar berasal dari pemerintah, dan lebih dari setengahnya akan diperoleh dari sumber lain.
Diskusi Intim Perubahan Iklim
Di hari selanjutnya, Masyita menemui Mark Darrough (Head of Division of Nature Repair Market & Environmental Science at DCCEEW) dan Ryan Wilson (General Manager of Biodiversity Market at DCCEEW). Sebagai institusi yang mengelola iklim, Masyita mempelajari komitmen Australia yang tertuang dalam Climate Change Bill 2022. Australia memiliki target untuk mengurangi 43% total emisinya dari tingkat emisi tahun 2005 pada tahun 2030 dan mencapai net zero tahun 2050. Untuk memastikan target ini tercapai, implementasinya akan diawasi oleh Climate Change Authority.
Selain itu, Australia juga memiliki bentuk komitmen tertulis lainnya yang sedang dipersiapkan, yaitu Nature Repair Market Bill 2023 yang dibentuk sebagai sebuah framework di pasar nasional Australia agar bisa meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati. Hampir serupa dengan mekanisme pasar karbon, Nature Repair Market akan memberikan insentif berupa sertifikat bagi pelaku yang mampu menjaga atau meningkatkan keanekaragaman hayati. Nantinya, sertifikat itu bisa diperjual belikan di Nature Repair Market, dengan syarat sertifikat harus terdaftar melalui National Register.
Indonesia bisa belajar dari penerapan Nature Repair Market ini. Indonesia memiliki modal alam yang cukup besar dan masyarakat Indonesia juga banyak yang hidup di daerah konservasi seperti hutan hujan dan laham bambut. Artinya, modal tersebut tidak bisa jadi alasan Indonesia untuk tidak memanfaatkan untuk sesuatu yang bermanfaat untuk bumi namun juga bermanfaat bagi masyarakat dari sisi ekonomi.
Mempelajari Pajak dan Makro-Fiskal
Selain bertemu dengan pemangku kepentingan di sisi iklim dan energi, Masyita juga melakukan tukar pikiran dengan rekan dari Treasury di Australia yaitu Luke Yeaman (Deputy Secretary at Commonwealth Treasury) dan Katrina Di Marco (First Assistant Secretary, Tax Analysis Division at Commonwealth Treasury). Berbeda dengan Kementerian Keuangan Indonesia, cakupan pekerjaanya sama dengan tiga institusi di Australia yaitu Treasury, Australian Taxation Office, dan Department of Finance. Ditambah, pada Australian Treasury terdapat sebuah badan independen yang disebut sebagai Productivity Commission (PC). PC adalah sebuah badan yang bertugas melakukan penelitian dan memberikan nasihat terkait berbagasi isu struktural jangka panjang. Isu-isu tersebut mencakup ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kalau di Indonesia, PC memiliki kesamaan pada fungsinya dengan Bappenas.
Selain itu, Australia Treasury juga memiliki sistem pemerataan antar wilayah, di mana tiap daerah akan mendapatkan pendapatan pajak untuk membangun wilayah mereka. Sistem ini adalah bagian dari Treasury’s Wellbeing Framework yang dibangun untuk memastikan bahwa seluruh masyarakat di semua wilayah dapat memiliki kesempatan yang “sama”. Sebenarnya, Indonesia sudah punya sistem bagi hasil pendapatan ke daerah yaitu melalui Dana Bagi Hasil. Alasan dari kesamaan ini adalah, karena Indonesia sedikit banyak berkaca pada desentralisasi Australia, namun memang perkembangan di Indonesia menyesuaikan dengan kondisi negara.
Tukar Pikiran soal Pendanaan Berkelanjutan
Di salah satu momen perjalanan, Masyita berkesempatan untuk bertemu dua perempuan hebat dari Australian Sustainable Finance Institute (ASFI). Bertemu dengan Kristy Graham (CEO of ASFI) dan Nicole Yazbek-Martin (Head of Sustainable Finance Taxonomy at ASFI), Masyita memahami cerita dibentuknya badan indepen yang dibentuk untuk memastikan bahwa Treasury bisa mengalirkan dana pada aktivitas-aktivitas yang mendukung keberlanjutan, ketahanan, dan inklusivitas di Australia. Baru berjalan 1,5 tahun, ASFI telah merilis Sustainable Finance Taxonomy 1 dan tengah mempersiapkan Sustainable Finance Taxonomy 2 yang mencakup aktivitas transisi.
Berkunjung ke Kampus Lama
Setelah sekian tahun lamanya, Masyita kembali mengunjungi Australia National University yang merupakan tempatnya menempuh pendidikan S2. Di sana, Masyita bercengkrama dengan teman-teman mahasiswa ANU dan melakukan diskusi tentang berbagai topik menarik. Mulai dari kondisi perekonomian Indonesia hingga komitmen Indonesia melakukan transisi energi.