Sebagai rangkaian dari Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2023, Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (ASEAN Finance Minister and Central Bank Governors Meeting (AFMGM)) dilaksanakan pada 22-25 Agustus 2023 di Jakarta. Pertemuan ini adalah pertemuan para pemain di sektor keuangan ASEAN yang kedua di tahun 2023. Berbagai kegiatan dilakukan dan mencakup topik-topik seperti, stabilitas dan ketahanan keuangan maupun ekonomi kawasan (recovery-building), mendorong literasi dan inklusi keuangan digital guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif (digital ecoomy), dan mempromosikan pembiayaan transisi guna mendukung keuangan berkelanjutan dan ekonomi hijau (sustainability). Ketiga hal ini berada dalam Priority Economic Deliverable (PED) ASEAN 2023.
Sebagai salah satu pemain di lingkup keuangan berkelanjutan dan ekonomi hijau, Masyita menghadiri salah satu side event AFMGM 2 2023 pada Kamis, 24 Agustus 2023. Kegiatan tersebut dinamakan Seminar on Renewable Energy Manufacturing: Opportunities for Southeast Asia. Masyita membuka kegiatan yang diisi oleh diskusi dengan para pakar termasuk Damilola Ogunbiyi (CEO and Special Representative of the UN Secretary-General for Sustainable Energy for All and Co-Chair of UN-Energy), Winfried Wicklein (Director General for Southeast Asia at ADB), Vishal Agarwal (Senior Partner and Asia Leader of Sustainability at McKinsey & Company), Rui Luo (Director for Asia Pacific, Environment and Climate Program Bloomberg Philanthropies), Scott Roberts (Head of Southeast Asia Green Finance Unit ADB), Valerie Julliand (UN Resident Coordinator in Indonesia), Salil Dutt (Chief Technical Advisor UNIDO), Shinta Widjaja Kamdani (Deputy General Chair of the Coordinating Maritime Investment, Foreign Affairs and KADIN Sustainability Climate Change Task Force), dan Chen Yi (Associate Director ClimateWorks Foundation).
Potensi Energi Terbarukan di Kawasan ASEAN
Pada kesempatan ini, Masyita menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank, Bloomberg Philanthropies, ClimateWorks Foundation, dan Sustainable Energy for All. Pada report yang dimaksud, ditemukan bahwa lima dari negara di kawasan ASEAN terkategori sebagai 20 negara paling rentan iklim di dunia. Dengan kerentanan ini, ASEAN diprediksikan akan kehilangan hampir 30% dari PDB di tahun 2050. Untuk menjaga negara-negara rentan dari kerugian tersebut, Asia Tenggara harus mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 25% pada tahun 2030.
Namun, mayoritas negara di kawasan adalah negara berkembang. Sehingga, mereka masih membutuhkan konsumsi energi yang tinggi guna mendorong pertumbuhan populasi dan ekonomi. Menurut laporan tersebut, dalam kurung waktu 30 tahun, kebutuhan listrik di ASEAN akan meningkat 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan tahun 2020.
Di tengah tantangan tersebut, potensi masuknya energi terbarukan di kawasan ASEAN terbuka lebar. Keberadaan energi terbarukan akan berkontribusi hingga USD 100 miliar pada pendapatan kawasan di tahun 2030. Bukan hanya itu, enam juta pekerjaan di sektor energi terbarukan akan tercipta pada tahun 2050.
Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan pendanaan yang cukup di kawasan. Bukan hanya pendanaan untuk membangun energi terbarukan, tapi juga pendanaan untuk transisi. Batubara di Asia Tenggara relatif berusia lebih muda dibandingkan di negara lain. Hasilnya adalah, jika batubara tersebut dipensiunkan, stranded asset cost kawasan akan relatif lebih tinggi pula. Sehingga, pendanaan yang dibutuhkan pun lebih tinggi.
Pendanaan ini bisa terwujud jika dunia mau sama-sama membentuk sistem pendanaan yang inklusif bagi aktivitas-aktivitas transisi. Contohnya adalah dengan taksonomi yang mengakui aktivitas transisi. Selain itu reformasi MDB perlu pula untuk didorong, mengingat krusialnya peran MDB di kawasan maupun di dunia.