Polemik Pasal 2 Perppu Covid-19

Menggugat sebuah regulasi dengan mekanisme yang sesuai dengan Konstitusi adalah hal wajar dalam kehidupan berdemokrasi dan merupakan hak warga negara. Mengutip Mahfud MD, pakar Hukum Tata Negara sekaligus Menkopolhukam RI, belum pernah ada Perppu yang tidak mengalami pertentangan di publik.

Perppu 1/2020 ini dibuat ditengah situasi kegentingan yang memaksa. Kondisi perekonomian diperkirakan dapat sangat terpengaruh oleh wabah Covid-19 yang sedang terjadi. Setiap hari eskalasinya di luar Tiongkok sangat cepat sejak Februari.

Sebetulnya di awal tahun hingga pertengahan Februari kondisi perekonomian masih sangat positif. Aliran modal masuk masih cukup tinggi ke negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan, rupiah termasuk salah satu mata uang yang menguat paling kencang di awal tahun.

Namun, situasi berubah demikian cepat di seluruh dunia. Ini berakibat Pemerintah harus mengeluarkan stimulus tahap 1 dan 2 yang berfokus pada kebijakan countercyclical guna mendukung dunia usaha dan sektor terdampak. Pemerintah secara paralel mulai menyiapkan Perppu untuk menghadapi situasi kegentingan memaksa ini. Sebuah kegentingan yang disebut IMF sebagai perlambatan ekonomi terburuk sejak the Great Depression.

Polemik Pasal 2 Perppu

Dengan situasi ekonomi yang terdampak cukup signifikan, APBN perlu memainkan perannya sebagai shock absorber perekonomian. Terutama untuk memberikan stimulus pada perekonomian, yang akibat wabah Covid-19 ini, bisa dalam kondisi standstill. Pasal 2 memiliki peran yang sangat penting dalam membantu APBN agar dapat merespon situasi ini dengan cepat.

Setidaknya ada tiga hal utama yang diatur dalam Pasal 2 ini. Pertama, Pasal 2 memberikan kemampuan agar APBN dapat merespon kondisi dengan cepat. Utamanya dengan realokasi dan refokusing anggaran dengan berfokus pada kepada tiga hal utama: Penanganan kesehatan akibat Covid-19, bantuan sosial dan dukungan terhadap dunia usaha terdampak terutama UMKM. Pasal 2 memberikan fleksibilitas dalam pengelolaaan pengeluran melalui realokasi dan refokusing  dari kegiatan non prioritas seperti perjalanan dinas misalnya ke prioritas tahun ini yaitu penanganan wabah Covid-19.

Bisa dibayangkan, dalam kondisi normal, untuk merealokasi anggaran dari satu program ke program lainnya dalam satu kementerian diperlukan persetujuan DPR . Termasuk merealokasi anggaran non-prioritas menjadi Bansos yang artinya butuh pindah kementerian/lembaga,. Pasal 2 Perppu 1/2020 ini memberikan fleksibilitas pada anggaran untuk mampu merespon shock dengan cepat. Sementara itu, penanganan program Covid-19 ini perlu kecepatan dan ketepatan eksekusi kebijakan.

Kedua, Pasal 2 memberikan fleksibilitas pelebaran anggaran di atas 3% hingga 2022. Banyak negara mengeluarkan stimulus fiskal yang cukup signifikan. Misalnya, Amerika Serikat dan Australia yang mengalokasikan sekitar 10% dari PDB-nya. Sedangkan, Perancis dan EU mengalokasikan 5% dari nilai PDB-nya. Pemerintah melebarkan defisit hingga 5.07% tahun ini untuk membantu meringankan beban perekonomian. Jika tidak, perekonomian bisa terjun bebas. Mengapa dilebarkan diatas 3% hingga 2022? Ini dilakukan agar perekonomian tidak shock setelah stimulus dengan defisit sebesar 5.07% di 2020, perlu smoothing pengeluaran pemerintah di tahun berikutnya sebelum kembali ke maksimal 3%.

Ketiga, Pasal 2 juga membahas mengenai pembiayaan. Pemerintah akan membiayai defisit melalui berbagai sumber termasuk penggunaan sisa anggaran lebih (SAL), dana abadi, dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu, dan dana yang dikelola Badan Layanan Umum (BLU). Termasuk membuka ruang bagi Bank Indonesia untuk dapat membeli Surat Utang Negara di pasar perdana.

Perppu 1/2020 ini dibuat dengan itikad baik pemerintah. Pembuatan juga dikonsultasikan cukup intensif dengan Komisi XI DPR. Tujuannya agar memberi bantalan pada perekonomian dalam menghadapi kondisi yang sangat berat ini.

 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Pin It on Pinterest

Share This