Tenggat waktu Perjanjian Paris semakin dekat, namun hasil Global Stocktake menunjukkan progress global masih jauh dari harapan. Konferensi iklim demi konferensi iklim dilakukan, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Terutama pada COP29 yang makan menjadi momentum penting terkait pembahasan pendanaan iklim global.
Menuju COP29, forum demi forum dilangsungkan oleh aktor global untuk berdiskusi. Diskusi dan dialog dilantunkan sebagai persiapan negosiasi di COP29. Tidak terkecuali Petersberg Climate Dialogue (PCD) yang diadakan pada 25-26 April 2024. Forum ini menjadi tujuan Masyita setelah menempuh perjalanan dari Washington DC menuju Berlin, Jerman.
Urgensi Pendanaan Iklim Global
PCD adalah sebuah acara yang diadakan oleh Jerman dan Presidensi COP setiap tahunnya. Tahun ini, pemerintah Jerman bekerjasama dengan presidensi COP29, Azerbaijan untuk membahas pendanaan iklim dari hulu ke hilir. Pembahasan ini mencakup diskusi bagaimana pendanaan iklim dapat mendukung pencapaian target Perjanjian Paris.
Pada kesempatan ini, Masyita hadir menjadi pembicara di tengah-tengah Svenja Schulze (Federal Minister for Economic Cooperation & Development Germany), Soipan Tuya (Cabinet Secretary for Environment, Climate Change and Forestry Kenya), Amar Bhattacharya (Senior Fellow Brookings Institution), dan Warren Evans (Climate Envoys ADB) dalam sesi Making The New Financial Framework Work To Deliver On The Paris Agreement. Sesi ini erat membahas bagaimana berbagai mekanisme pendanaan iklim yang ada dapat dimanfaatkan untuk mencapai target Perjanjian Paris.
Tidak berhenti di situ, sesi diskusi dilanjutkan pada format yang lebih teknis dan lebih dalam pada hari berikutnya melalui workshop. Loka Karya tersebut dilangsungkan dengan mengusung tiga topik utama yaitu terkait New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG), framework pendanaan iklim internasional untuk target Perjanjian Paris, dan pembentukan Nationally Determined Contribution (NDC) yang suportif pada pencapaian Perjanjian Paris.
Negara Berkembang dan Pendanaan Iklim
Sebagai negara berkembang, Indonesia menggaris bawahi transisi sebagai sesuatu yang krusial. Aspek-aspek yang dianggap penting oleh negara berkembang harus menjadi bahan konsiderasi dalam diskusi pendanaan iklim, termasuk NCQG. Sayangnya, perdebatan ini berakhir kurang memuaskan pada COP28 di Dubai tahun 2023 lalu.
Indonesia proaktif dalam isu transisi energi maupun dari sisi pendanaan transisi. Dari isu transisi energi, Indonesia memiliki beberapa inisiatif unggulan seperti JETP (Just Energy Transition Partnership) dan ETM (Energy Transition Mechanism) Country Platform. Bahkan, Indonesia telah meluncurkan program kick-off pada Early Retirement on Coal-Fired Power Plant (CFPP) pada Cirebon 1 Power Plant. Program ini bertujuan untuk mempensiunkan 660 MW lebih cepat dalam kurung waktu 7 tahun. Program ini akan mengurangi sekitar 28,5 juta ton CO2.
Di sisi lain, Indonesia aktif dalam mendorong dan menggeluti isu pendanaan transisi. Ini termasuk pada usaha Indonesia membentuk taksonomi yang mengakui aktivitas transisi. Taksonomi yang dimaksud adalah Indonesia Taxonomy for Sustainable Financing. Selain itu, Indonesia juga mendorong pembentukan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance Version 2.
0 Comments