Indonesia berada di persimpangan ekonomi yang menarik. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam dua hingga tiga tahun ke depan, yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto, telah menghidupkan optimisme baru. Optimisme ini juga didukung oleh Drajad Wibowo, anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, yang menyatakan bahwa target tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dicapai.
Optimisme ini bukan tanpa dasar, karena Indonesia pernah mencatat pertumbuhan ekonomi lebih dari 8 persen pada beberapa kesempatan, seperti tahun 1968 (10,92 persen), 1973 (8,10 persen), 1977 (8,76 persen), 1980 (9,88 persen), dan 1995 (8,22 persen). Namun, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 1961-2023 hanya mencapai 5,11 persen per tahun.
Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai target pertumbuhan ini dan keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap), Namun, pertumbuhan sebesar ini membutuhkan prasyarat penting, mulai dari stabilitas kebijakan hingga inovasi sektor hijau yang lebih mendalam.
Menjaga Stabilitas Kebijakan di Tengah Tantangan Global
Resiliensi ekonomi Indonesia selama pandemi telah menunjukkan kekuatan pondasi makroekonomi negara ini. Di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, stabilitas fiskal dan moneter berhasil dijaga, prestasi yang sangat berarti mengingat tekanan ekonomi global.
Namun, stabilitas saja tidak cukup. Untuk mencapai target 8 persen, stabilitas ini harus diiringi dengan kebijakan yang lebih progresif di sektor-sektor industri dan aksi nyata terhadap perubahan iklim. Kita sedang bergerak menuju ekonomi berkelanjutan, dan dunia semakin jauh meninggalkan energi fosil. Indonesia harus bersiap untuk memimpin transisi ke energi bersih, yang tidak hanya menjadi tuntutan global, tetapi juga bisa menjadi mesin pertumbuhan baru bagi kita.
Mencari Mesin Pertumbuhan Ekonomi Baru
Bergantung pada sektor manufaktur seperti masa lalu bukan lagi strategi yang optimal. Teknologi telah mengubah dinamika sektor ini, dan pekerjaan yang sebelumnya bisa diandalkan untuk menstabilkan ekonomi kini tidak lagi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Artinya, Indonesia membutuhkan mesin pertumbuhan baru.
Beberapa sektor yang menjanjikan antara lain energi terbarukan (EBT), pertanian berkelanjutan, kecerdasan buatan (AI), serta teknologi ramah lingkungan. Teknologi seperti AI dan big data membawa potensi untuk mendorong produktivitas dan efisiensi secara signifikan, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru yang ramah lingkungan. Menurut laporan McKinsey, Hadirnya teknologi yang mampu melakukan otomasi pada 16% total jam kerja, memberi dampak pekerjaan-pekerjaan yang tergantikan mesin akan hilang. Namun pekerjaan yang hilang tersebut akan digantikan oleh pekerjaan baru. Otomasi berpotensi meningkatkan produktivitas dan PDB, serta membuka hingga 23 juta lapangan kerja baru pada 2030 di berbagai sektor, termasuk konstruksi, manufaktur, dan layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan.
Transformasi ini menunjukkan bahwa AI dan big data tidak hanya menciptakan efisiensi dalam pengelolaan data tetapi juga mendukung perubahan pada sektor tradisional menjadi lebih berkelanjutan. Perusahaan yang telah berhasil memanfaatkan revolusi digital, merupakan contoh bagaimana teknologi menciptakan lapangan kerja baru. Dengan strategi implementasi teknologi yang tepat dan peningkatan keterampilan digital, Indonesia berpotensi untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi hijau dan berbasis teknologi di kawasan Asia Tenggara.
Ekonomi Hijau, Masa Depan Indonesia
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam ekonomi hijau. Diperkirakan dalam waktu 10 tahun transisi, ekonomi hijau dapat menambah sebanyak 2.943 T kepada PDB Indonesia atau setara dengan 14.3% PDB Indonesia di tahun 2024 (Greenpeace dan CELIOS: 2024). Partisipasi dalam rantai pasok global untuk produk-produk seperti baterai kendaraan listrik (EV) dan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) bisa memberi manfaat besar, bukan hanya dari segi keberlanjutan, tetapi juga dari sisi ekonomi. Teknologi penangkapan karbon diperkirakan dapat menyumbang 478 miliar USD pada 2031-2050 (Soeparno, 2024). Untuk perdagangan karbon sendiri, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keunggulan yang dapat dikapitalisasi. Potensi pasar karbon di Indonesia bisa mencapai atau bahkan melebihi Rp. 3.000 triliun. Sedangkan menurut Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), potensi pasar karbon Indonesia bisa mencapai US$565,9 miliar (sekitar Rp8.488 triliun).
Pemanfaatan tren global ini bisa menempatkan Indonesia sebagai pemimpin dalam teknologi berkelanjutan. Dengan kebijakan yang tepat, target pertumbuhan 8 persen menjadi lebih realistis.
Baca juga: Redam Kejatuhan Ekonomi dengan Pemulihan Ekonomi Nasional
Langkah Berikutnya: Apa yang Bisa Dilakukan Pemerintah?
Untuk mewujudkan ambisi pertumbuhan 8%, pemerintah perlu merancang kebijakan yang mendukung transisi menuju sektor hijau dan inovatif. Alangkah baiknya jika Pemerintah mampu mengkapitalisasi semua keunggulan komparatif Indonesia dalam sektor ekonomi hijau. Langkah-langkah ini membutuhkan regulasi yang kuat dan ekosistem yang memungkinkan perusahaan serta sektor swasta untuk berkembang dalam ekonomi hijau. Perubahan ini tak hanya memerlukan niat politik tetapi juga kesiapan institusi dan sumber daya manusia yang mumpuni.
Beberapa kebijakan seperti insentif-insentif yang efektif bagi pembiayaan keuangan, investasi dan pajak di sektor ekonomi hijau, mengintegrasikan tugas dan wewenang serta mengharmonisasikan kebijakan terkait perdagangan karbon, membuka pendidikan vokasi dan pendidikan tinggi terkait sektor ekonomi hijau, dan mendorong gaya hidup berkelanjutan di masyarakat.
Target pertumbuhan 8% akan tetap menjadi ambisi tanpa langkah-langkah konkret yang mendorong ekonomi hijau dan inovasi. Saat ini, pertanyaan yang harus kita jawab adalah bukan hanya apakah target itu mungkin, tetapi apakah Indonesia siap memimpin dalam sektor-sektor ekonomi masa depan. Dengan kebijakan yang progresif dan koordinasi yang matang, Indonesia tidak hanya bisa tumbuh, tetapi juga menjadi salah satu kekuatan ekonomi global yang berkelanjutan.
Baca juga: Mengenal Dana Bagi Hasil
Sumber: