Dunia akan kehilangan 10 persen dari total ekonominya jika target-target perubahan iklim yang disepakati dalam Paris Agreement dan Net Zero Emission tidak tercapai. Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, pada saat menjadi pembicara kunci dalam pembukaan HSBC Summit 2022: Powering the Transition to Net Zero yang diadakan Rabu, 14 September 2022. Oleh karenanya, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan janjinya (pledge) melalui National Dertemined Contribution (NDC) Indonesia berupa pengurangan emisi karbon sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan kerja sama dari dunia internasional. “Indonesia telah mengalokasikan jumlah anggaran yang signifikan untuk aksi mitigasi dan adaptasi (perubahan iklim),” ungkapnya. Dari total kebutuhan sebesar 266 Triliun rupiah per tahun untuk melakukan aksi menghadapi perubahan iklim ini, Indonesia hanya mampu mengalokasikan 89.6 Triliun rupiah per tahun. Oleh karenanya, diperlukan kolaborasi antar-pemangku kepentingan agar aksi ini dapat menghasilkan perubahan yang signifikan. Pemerintah Indonesia menggunakan strategi catalytic financing (pendanaan katalis/pemercepat) untuk meningkatkan keberhasilan (viability) dari program-program perubahan iklimnya. Hal ini dilakukan guna menarik para investor agar menanamkan dananya pada program-program tersebut. Indonesia juga menggunakan pendanaan katalis untuk mencapai Net-Zero Emission (NZE) pada 2060 maupun target National Determined Contribution (NDC) pada 2030.
Mark Carney, Co-Chair of the Glasgow Financial Alliance for Net Zero dan Duta Khusus PBB untuk Pendanaan dan Aksi Perubahan Iklim, juga menyatakan bahwa Indonesia telah berada di posisi yang benar dalam mencapai peluang net zero emission untuk ketahanan energi yang lebih besar di masa depan, untuk sistem enegri dan keuangan yang lebih tanggung dan inklusif, dan untuk pertumbuhan (ekonomi) yang lebih berkelanjutan.
Masyita juga mengungkapkan hal senada pada sesi “Financing the Transition to Net Zero” pada HSBC Summit 2022: Powering the Transition to Net Zero. Sesi ini melibatkan Jiro Tominaga (ADB Country Director for Indonesia), Edwin Syahruzad (President Director, PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)), dan Jonathan Drew (Head of Global Banking Sustainability HSBC Asia Pacific).
Pendanaan kolaboratif ini, menurut Masyita, telah diterapkan dengan berbagai macam bentuknya. Misalnya, Indonesia telah memiliki platform pendanaan campuran (blended finance) yang diusung oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) melalui SDG Indonesia One (SIO). Indonesia juga telah merilis sukuk hijau pertama di dunia sebagai salah satu sumber pendanaan. Selain itu, skema kerjasama PPP atau Public Private Partnership juga dilakukan Indonesia untuk meningkatkan viability dari program-program menuju NZE ataupun NDC. Skema-skema pendanaan ini dilakukan untuk melakukan transisi hijau yang adil (just) dan terjangkau (affordable) untuk seluruh pihak.
Indonesia memerlukan strategi menyeluruh yang memperhatikan setiap aspek transisi hijau ini. Penerapan ini bisa dimulai dari project level untuk membuat peta jalan (roadmap), institusi, dan regulasi. Saat ini, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kementerian BUMN, dan Kementerian Lingkungan Hidup telah bekerja sama dalam menghasilkan tiga jenis roadmap, yaitu transisi energi melalui energy transition mechanism, pasar karbon, dan pajak karbon. Kolaborasi ini diharapkan mampu membawa Indonesia mencapai target-targetnya dalam NDC, NZE dan SDGs.
0 Comments