Oped Media Indonesia: Ambisi Tinggi Pendanaan Perubahan Iklim

Transisi menuju rendah karbon yang adil dan terjangkau membutuhkan pembiayaan hijau yang sangat besar. Oleh karena itu banyak usaha penggalangan dana hijau yang dilakukan di skala global untuk membantu pembiayaan agenda pencapaian nol bersih (net zero) bagi negara berkembang.

Indonesia memiliki komitmen untuk mendukung ambisi Internasional terhadap Perubahan Iklim, beberapa diantaranya pada sektor ekonomi hijau, seperti dikeluarkannya pendanaan green sukuk serta telah diterbitkannya Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Dengan adanya inisiatif penggalangan dana hijau yang diantaranya dilakukan oleh Persekutuan Glasgow untuk Nol Bersih (GFANZ) dan Aliansi Energi Global untuk Manusia dan Planet (GEAPP) telah membuka peluang yang lebar untuk merealisasikan target penurunan emisi secara global. Walau begitu, pendanaan menuju emisi nol masih jauh dari capaian.

Presidensi G20 Indonesia merupakan peluang yang baik untuk menggaungkan kebutuhan pendanaan yang masih jauh dari capaian target dalam menghadapi perubahan iklim. Indonesia menyatukan suara negara berkembang lainnya dan menyampaikan kepada negara-negara maju mengenai komitmen pendaan iklim yang dijanjikan untuk kepentingan masyarakat global.

Mari kita simak tulisan Masyita dengan judul Ambisi Tinggi Pendanaan Perubahan Iklim yang terbit di situs Media Indonesia pada Jumat, 18 Februari 2022. [tautan]

 

***

 

Ambisi Tinggi Pendanaan Perubahan Iklim

 

MINGGU ini, perhelatan G-20 diselenggarakan di Jakarta dengan Indonesia sebagai pemegang presidensi. Selama empat hari, negara-negara G-20 berkumpul sebagai bagian dari finance track, yaitu pertemuan tingkat Deputi Bank Sentral (FCBD) dan pertemuan para menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG).

Isu perubahan iklim menjadi salah satu isu penting dalam G-20, terutama dalam kelompok kerja keuangan berkelanjutan (sustainable working group) yang membahas bagaimana negara-negara G-20 dapat berkontribusi dalam pencapaian Perjanjian Paris. Salah satu isu yang paling utama dalam pencapaian itu tentu terkait pendanaan untuk mencapai nol-bersih (net zero).

Pencapaian nol-bersih (net zero) semakin menemukan titik terang pasca-COP 26 di Glasgow. Kini dunia masih dalam fase menuju pemanasan 2,4 derajat Celsius di atas era pra-industri. Ini merupakan keberhasilan bersama karena 6 tahun lalu pemanasan global  dilansir pada 3,7 derajat. Namun pencapaian ini belum lah cukup  sebab tiap 1 derajat di atas 1,5  adalah ancaman bagi keberlanjutan planet dan kehidupan. Sementara, jendela kesempatan untuk mengurangi pemanasan global ini akan tertutup dan kita berkejaran dengan waktu, untuk secara global melakukan upaya bersama.

Satu hal penting dari pencapaian emisi nol-bersih adalah memastikan transisi menuju rendah karbon yang adil dan terjangkau. Untuk ini isu pembiayaan hijau menjadi faktor kunci berjalannya transisi. Berbagai upaya penggalangan dana hijau dilakukan di skala global. Salah satunya adalah Persekutuan Glasgow untuk Nol Bersih (GFANZ) yang  berhasil menggalang peran sektor swasta untuk membiayai agenda transisi emisi nol-bersih di negara berkembang hingga US$ 130 triliun. Demikian halnya Aliansi Energi Global untuk Manusia dan Planet (GEAPP) yang menjanjikan US$100 miliar bagi pembiayaan infrastruktur energi bersih dan pekerjaan yang terdampak transisi ini. Tak ketinggalan, pembentukan Dana Adaptasi baru sebesar US$351,6 juta juga disambut baik oleh masyarakat internasional.

Ambisi dan kesenjangan pendanaan perubahan iklim

Masyarakat internasional berharap Indonesia dapat mencapai ambisi dan “angsuran” iklim tersebut. Sebagai salah satu negara penyandang predikat paru-paru dunia, keberhasilan Indonesia dalam agenda perubahan iklim menjadi bagian integral kesuksesan Perjanjian Paris. Penerbitan pendanaan inovatif  green sukuk, pemberian berbagai insentif untuk menarik minat sektor swasta terhadap sektor ekonomi hijau, serta dikeluarkannya Peraturan Presiden 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi  komitmen keseriusan Indonesia. Hal ini menjadi pembuka peluang signifikan bagi pemanfaatan sumber-sumber baru pembiayaan iklim internasional, baik dari sektor publik maupun swasta dan baik secara sukarela maupun wajib.

Dinamika Glasgow membuka peluang lebar peningkatan ambisi iklim secara kontinu Indonesia. Dengan terdefinisikannya pasar karbon internasional di Pasal 6 Perjanjian Paris, potensi Indonesia menjadi lebih terbuka sebagai salah satu destinasi pasar terbesar negara lain–termasuk sektor swasta–dalam merealisasikan target penurunan emisi mereka. Terlebih lagi dengan inisiatif GFANZ, pendanaan catalytic antara swasta dan publik berpeluang lebih besar untuk terwujud. Dengan demikian–sebagai salah satu negara yang berpotensi paling terimbas oleh perubahan iklim–Indonesia tentu menyambut baik pendekatan kreatif dan antisipatif masyarakat internasional dalam pembiayaan agenda iklim.

Namun di Glasgow, terlepas dari semua capaian yang ada, tidak luput terkuak kekecewaan besar dari kelompok negara berkembang. Komitmen pembiayaan iklim oleh masyarakat internasional masih lemah dan masih senjang antara harapan dan kenyataan. Dana anual US$100 miliar yang dijanjikan guna membantu negara berkembang dalam membiayai mitigasi dan adaptasi yang kiranya jatuh tempo tahun 2020 lalu, kini dimundurkan tenggat waktu diskusinya menjadi 2025. Belum lagi isu monitoring dan evaluasi target pendanaan ini perlu diperjelas untuk memastikan pencapaian target bersama yang akuntabel dan transparan.

Diskusi mobilisasi dana tersebut diharapkan tak sekedar terealisasi lebih cepat, namun juga lebih inklusif, akuntabel dan transparan, serta mencakup spektrum pandangan dan masukan yang lebih luas. Negara-negara maju juga diharapkan dapat lebih memahami kendala-kendala di lapangan. Maka dari itu, sangat penting bagi negara maju dan negara berkembang untuk bekerja sama dengan erat, baik dalam menentukan proyek-proyek potensial, memastikan kelayakan pembiayaan termasuk fasilitas untuk de-risking seperti penjaminan, serta mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang jelas dan realistis.

Sebagai negara dengan bauran energi, pembangkit listrik, dan devisa ekspor yang masih sangat bergantung terhadap bahan bakar fosil, keberhasilan transisi energi Indonesia butuh komitmen keuangan yang tak kecil. Proses mempensiun-dinikan PLTU tentu akan membutuhkan pendanaan dari bank swasta, organisasi multilateral, dan/atau hibah dari negara lain, baik untuk akuisisi maupun penghentian waktu operasi lebih dini.

Keberhasilan proses ini vital ditentukan diakuinya aktivitas transisi ekonomi hijau dalam taksonomi ekonomi hijau. Pengambil-alihan PLTU batubara untuk penghentian operasi lebih dini misalnya, bukan merupakan investasi di bidang energi fosil, namun diperlukan dalam transisi energi sehingga perlu dipandang sebagai transisi ekonomi hijau. Malangnya masih terdapat gap: lanskap pendanaan perubahan iklim internasional saat ini belum mengakui proses akuisisi-transisi yang sebenarnya esensial dalam mendukung perubahan struktur ekonomi dan bauran energi Indonesia ke depan.

Mengapa hal ini penting? Dengan diakuinya aktifitas transisi seperti transisi energi ini sebagai bagian dari transisi hijau, maka akses terhadap pendanaan untuk aktifitas ini menjadi terbuka. Alih-alih mendapat akses dana perubahan iklim, kealpaan dunia melihat aktifitas ini sebagai aktifitas transisi justru dapat menghambat akses terhadap pendanaan.

Oleh karena itu, di momentum kepemimpinan G20 Indonesia, inisiatif kolektif untuk menutup jurang tersebut patut disuarakan lebih lantang. Indonesia, dengan menggalang suara negara berkembang lainnya, harus menyerukan kepada negara-negara maju untuk menutup kesenjangan komitmen pendanaan iklim yang telah dijanjikan. Di saat bersamaan, menuntut kepastian aturan main dan mekanisme pemberian greenmium (premium untuk proyek hijau) agar negara-negara berkembang dapat lebih mudah mengakses pendanaan internasional tersebut.

Keinginan Indonesia  untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi (high-income country) pada tahun 2045 perlu diiringi dengan kepemimpinan yang memastikan keberhasilan mencapai pembangunan yang berkelanjutan, termasuk di dalamnya transisi menuju emisi nol-bersih secara adil dan terjangkau. Jendela kebijakan tak akan membuka selamanya. Oleh sebab itu, momentum Presidensi G20 ataupun Koalisi Menteri-Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim (Coalition of Finance Ministers for Climate Action) sudah sepantasnya menjadi mimbar Indonesia untuk asah, asih, asuh dan sung tuladha kepada negara-negara berkembang lain, serta memimpin mereka di garis terdepan dengan beraspirasi dan secara aktif membentuk pandangan dunia perihal transisi ekonomi hijau. Dunia membutuhkan Indonesia.

 

 

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Pin It on Pinterest

Share This