Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah dua komponen utama dalam menghadapi perubahan iklim. Pada 9 November 2022, Masyita terlibat dalam penyelenggaraan pertemuan tingkat menteri Coalition of Finance Minister for Climate Action pada COP 27 (Conference of Parties 27) di Sharm el-Sheikh, Mesir sebagai Sherpa. Bersama dengan Pekka Moren (Coalition Co-Chair Sherpa, Finland), Masyita memoderatori sesi pertemuan ini.
Pertemuan ini dihadiri Suahasil Nazara (Wakil Kementerian Keuangan Republik Indonesia) sebagai lead speaker, Nick Stern (Grantham Research Institute), Sigrid Kaag (Minister of Finance and Incoming Coalition Co-chair, Netherlands), Mohamed Maait (Minister of Finance, Egypt), David Malpass (President, World Bank Group), Kristalina Georgieva (Managing Director International Monetary Fund), dan Achim Steiner (Administrator United Nation Development Programme).
Komitmen Indonesia dalam Adaptasi Perubahan Iklim
Seiring dengan peningkatan komitmen Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim, komitmen untuk melakukan adaptasi perubahan iklim turut meningkat. Pada September 2022, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi gas rumah kaca menjadi 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan bantuan internasional. Komitmen ini tertuang dalam Enhanced NDC Indonesia.
Dalam melakukan adaptasi perubahan iklim, Indonesia berfokus pada tiga hal yaitu; mendukung ketahanan ekonomi, ketahanan sosial, dan ketahanan ekosistem pada tiga sektor. Sektor ini adalah ketahanan laut, pangan, dan air. Indonesia memiliki strategi adaptasi perubahan iklim dalam Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) dan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API).
Pendanaan Adaptasi Perubahan Iklim
Pembiayaan menjadi penyokong utama pada kegiatan adaptasi perubahan iklim di seluruh tingkatan. Namun, terdapat gap untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan adaptasi. Di mana pada saat ini, pendanaan yang beredar adalah sebesar USD 50 miliar, sedangkan di tahun 2030 kita memerlukan setidaknya USD 300 miliar. Selain itu, 67% bentuk pembiayaan adaptasi saat ini diberikan dalam bentuk hutang.
Untuk melakukan adaptasi perubahan iklim di Indonesia, dibutuhkan Rp40,4 miliar pertahunnya, sedangkan anggaran negara hanya mampu mencakup 34%-nya. Untuk itu, kolaborasi dengan berbagai institusi menjadi prioritas Indonesia dalam meminimalisir celah pada pembiayaan adaptasi. Institusi ini mencakup publik atau swasta, maupun global atau domestik. Skema ini perlu dibentuk agar tidak mempersulit negara-negara miskin dan rentan, seperti dalam bentuk hutang.
Untuk menarik sektor swasta dalam adaptasi perubahan iklim, Indonesia telah melakukan inisiasi berupa kerjasama publik-swasta dalam pengembangan sistem supplai air. Salah satunya adalah proyek kolaborasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan PT Meta Adhya Tirta Umbulan. Proyek ini berhasil untuk menyediakan air bersih dengan harga yang terjangkau di kawasan Umbulan, Jawa Timur. Indonesia juga telah mengimplemetasikan Payment for ecosystem services (PES), di mana pemberian insentif diberikan kepada pelaku kegiatan adaptasi perubahan iklim.
Kolaborasi pendanaan di mana pembiayaan publik take first-loss position akan membuka jalan pada kanal-kanal pembiayaan adaptasi perubahan iklim lainnya. Namun, kontribusi sektor swasta turut memiliki peran penting dalam pembiayaan adaptasi perubahan iklim.
0 Comments