Mengenal Dana Bagi Hasil

Dalam praktiknya, pendapatan negara disalurkan pemerintah pusat keada daerah-daerah di Indonesia melalui skema dana bagi hasil. Sebagian besar jenis pendapatan, baik dalam bentuk pajak, cukai dan bentuk lainnya disalurkan melalui pemerintah daerah; provinsi dan/atau kabupaten.

Dana Bagi Hasil, umumnya disingkat sebagai DBH, merupakan salah satu bagian dari mekanisme Transfer ke Daerah oleh pemerintah pusat. DBH dialokasikan berdasarkan persentase dan kinerja tertentu kepada daerah. Dana ini ditujukan untuk meningkatkan keseimbangan vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam artian lain, dana bagi hasil digunakan untuk meminimalisir ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah. Dana bagi hasil juga diperuntukkan sebagai upaya meningkatkan pemerataaan dalam wilayah dan juga diharapkan dapat mengurangi dampak eksternalitas negatif akibat eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang berlebihan.

Terdapat dua jenis sumber DBH, yakni DBH yang berasal dari pendapatan pajak dan DBH yang berasal dari sumber daya alam. DBH Pajak terdiri atas pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan cukai hasil tembakau (CHT). Sementara itu, DBH yang berasal dari pendapatan SDA terdiri atas minyak dan gas bumi (migas), mineral dan batu bara (minerba), panas bumi, kehutanan dan perikanan.

 

Sumber: Kementerian Keuangan

Alokasi Dana Bagi Hasil

Dalam pengalokasian DBH, terdapat tiga prinsip yang digunakan oleh pemerintah. Prinsip pertama adalah by origin. Daerah penghasil SDA akan mendapatkan persentase yang lebih besar daripada daerah non-penghasil. Sebagai contoh, Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi dengan ekspor kelapa sawit, di mana porsi DBH yang didapat oleh Provinsi Kalimantan Timur harus lebih banyak dibandingkan daerah yang bukan penghasil kelapa sawit.

Prinsip kedua adalah dengan pertimbangan eksternalitas negatif. Daerah yang terdampak eksternalitas negatif akibat kegiatan eksplorasi SDA memperoleh alokasi DBH sebagai kompensasi dan untuk meningkatkan kapasitasnya dalam menanggulangi dampak. Prinsip ketiga adalah memperhatikan kinerja daerah. Sepuluh persen (%) besaran DBH yang diberikan kepada daerah tergantung dari indikator Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari KLHK bagi DBH SDA, dan optimalisasi penerimaan negara/skor kepatuhan penyampaian Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) Pajak bagi DBH pajak.

Sumber: Kementerian Keuangan

Salah satu dasar hukum utama dalam pengalokasian DBH adalah UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). UU tersebut tergolong hasil legislasi yang mereformasi hubungan keuangan antara pusat dan daerah menjadi lebih efektif.

Dengan adanya UU No 1/2022, penerimaan negara yang dibagihasilkan akan sesuai dengan perkiraan realisasi tahun sebelumnya, yaitu realisasi data semester 1 yang diproyeksikan hingga akhir tahun. Sedangkan pada undang-undang sebelumnya, penerimaan negara yang dibagihasilkan hanya berdasar pada rencana penerimaan saja.

Pada peraturan yang baru, daerah yang mendapatkan bagi hasil lebih menyeluruh dibandingkan pada UU 33/2004. Menurut UU 1/2022, DBH juga akan diberikan kepada daerah penghasil, yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil, daerah pengolah, dan daerah lainnya yang berada dalam satu provinsi.

Terdapat perbedaan formula alokasi DBH pada UU 33/2004 dengan UU 1/2022. Pada UU yang baru, 90% DBH dibagikan sesuai formula dan 10% nya sesuai dengan kinerja masing-masing daerha. Ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang hanya berdasarkan proporsi tertentu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, ada kenaikan pembagian proporsi CHT dalam DBH yaitu sebesar 1%, dari 2% menjadi 3%.

Perhitungan Dana Bagi Hasil

Pembagian DBH berdasarkan jenis daerah sudah diatur dalam Undang-Undang. Berikut adalah ketentuan persetase pembagian DBH pajak dan DBH SDA:

Pembagian DBH Pajak

 

 

 

 

Pembagian DBH SDA, di luar Migas-Minerba

Sumber: Kementerian Keuangan

Penghitungan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

Pendekatan DBH migas cukup berbeda dengan bentuk DBH yang lain. Terdapat dua hasil produksi yang menjadi obyek, yaitu minyak bumi dan gas bumi. Keduanya memiliki persentase yang berbeda. Hasil minyak bumi dimanfaatkan pemerintah pusat dalam proporsi lebih besar dibanding gas. Adapun dalam wilayah otonomi khusus, yakni Papua dan Aceh, pemerintah daerah diberikan kompensasi yang jauh lebih besar untuk hasil migas.

Sumber: Kementerian Keuangan

Proses perhitungan DBH migas dimulai dengan perolehan data dari Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. ESDM memiliki data lifting minyak dan gas berdasarkan setiap daerah, Kontraktor KKS (Kontrak Kerja Sama dalam konteks Migas) serta beragam jenis minyak bumi. Data tersebut diolah oleh Kementerian Keuangan hingga menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA minyak dan gas bumi.

Sumber: Kementerian Keuangan

Pihak utama yang melakukan perhitungan adalah Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu. Setelah memperoleh data lifting/pendapatan kotor setiap daerah, data digabungkan dengan memperhatikan penetapan batas wilayah bersama Kemendagri dan PNBP Migas per KKKS bersama dengan Ditjen Anggaran Kemenkeu. Tahap ini digunakan untuk menentukan daerah pengolah, penghasil, daerah, non-penghasil, dan sebagainya.

 

Sumber: Kementerian Keuangan

Seluruh data yang dibutuhkan terkumpul kemudian akan dilakukan penghitungan Gross Revenue, dilanjutkan dengan PNBP. Setelah itu, DBH migas berdasarkan persentase yang sudah ditetapkan dapat terlihat. Dalam tahapan ini, sering kali terdapat seliish antara transfer DBH dengan yang seharusnya disalurkan. Untuk mencocokannya, ada tahapan sendiri yang harus dilalui.

Proses perhitungan dari Gross Revenue menuju PNBP jarang dibahas secara mendetil, padahal cukup penting dan menarik untuk diketahui. Gross Revenue harus dikurangi beberapa bagian. Pertama adalah First Tranche Petroleum, yaitu hasil minyak pertama yang disisihkan ke masing-masing pemerintah dan kontraktor sesuai kontrak. Kedua, Investment Credit. Insentif pemerintah ke investor untuk menanamkan modal ke sektor hulu. Ketiga, Cost Recovery adalah biaya operasi yang akan diganti oleh pemerintah pusat. Setelah dikurangi beberapa bagian tersebut, hasil dinamakan Equity to be Split, yakni Profit Oil yang juga dibagi antara pemerintah dan kontraktor.

Equity = R – FTP – IC – CR

Setelahnya, Profit Oil dikurangi imbalan atas penyerahan Domestic Market Obligation (DMO)—Kewajiban kontraktor menyerahkan 25% bagiannya ke pemerintah untuk kebutuhan minyak dalam negeri. Dengan pengurangan fee hulu migas, pajak (pusat maupun daerah), bea masuk dan over/under lifting(bisa pengurang atau penambah), baru mendapatkan hasil akhir berupa PNBP.

PNBP = Entitlement Pemerintah – DMO Fee – Fee Hulu Migas – Pajak – Bea masuk – PDRD

(+/-) Over/Under lifting

Sumber: Maryati dan Ambarsai (2010)

Perhitungan Dana Bagi Hasil Batu Bara

Uniknya, DBH minerba berasal dari dua jenis iuran, yaitu tetap (land-rent) berdasarkan luas wilayah eksplorasi dengan tarif per hektar, dan royalti berdasarkan jumlah produksi dengan tarif per ton.

 

 

 

 

Sumber: Kementerian Keuangan

Kementerian ESDM akan menentukan PNBP minerba per daerah dan Kemendagri akan memastikan batas wilayahnya sudah sesuai. dipastikan batas wilayah dari Kemendagri. DJPK lah yang kemudian akan melakukan proses hitung.

Mekanisme Tranfer Ke Daerah

Tidak hanya satu kali transfer secara penuh, DBH secara umum disalurkan tiap triwulan dan secara mendetail disalurkan setiap bulan. Syarat dari penyaluran DBH, adalah diperlukannya pelaporan oleh daerah. Syarat ini diberlakukan untuk mendorong kinerja pengelolaan keuangan daerah.

Sumber: Kementerian Keuangan

Perkembangan DBH

Sumber: Kementerian Keuangan

Menilik alokasi dan realisasi DBH, grafik di atas menunjukkan kenaikan alokasi dan realisasi DBH tiap tahunnya, kecuali di tahun 2020. Hal ini terjadi dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang memberikan dampak pada menurunnya penerimaan negara.

Hadirnya dana bagi hasil untuk daerah akan diharapkan dapat membantu daerah-daerah dalam melakukan proses pembangunan, meningkatkan pemerataan, dan menanggulangi eksternalitas negatif. Selain itu, diharapkan pula berkurangnya ketimpangan fiskal di pusat dan di daerah. Karena pada akhirnya, kita semua ingin mewujudkan Indonesia yang lebih maju lagi.

Referensi:

Bahan Paparan Kementerian Keuangan

Maryati Abdullah & Ambarsai D.C, Modul Pelatihan “Aliran pendapatan untuk transparansi migas”, PATTIRO-RWI, 2010.

UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

UU No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Pin It on Pinterest

Share This