Sumber artikel dari situs Tempo yang tayang pada 3 November 2021 [tautan]
RI Angkat Janji Pendanaan Iklim USD 100 Miliar di COP26
TEMPO.CO, Jakarta – Masyita Crystallin, staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyebut ada beberapa isu yang menjadi prioritas Indonesia dalam konferensi tingkat tinggi perubahan iklim atau KTT COP26. Salah satunya terkait dengan mekanisme Long-Term Financing (LTF) yang mendorong negara-negara maju untuk memenuhi janji.
Janji ini terkait mobilisasi pendanaan iklim US$ 100 miliar per tahun untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE). Akan tetapi, Masyita menyebut masih banyak komitmen negara anggota yang belum dijalankan, salah satunya soal LTF ini.
“Seharusnya berakhir 2020, malah berjalan tanpa ada pencapaian terukur hingga saat in,” kata dia dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, 3 November 2021.
Untuk itulah, Masyita menyebut Indonesia mengambil pelajaran dari komitmen pendanaan US$ 100 miliar yang belum terpenuhi ini. Sehingga, Indonesia memandang COP26 perlu menetapkan timeline, hingga bentuk pembiayaan yang jelas.
Sebelumnya, konferensi perubahan iklim ini digelar di Glasgow, Skotlandia. Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun menghadiri rangkaian kegiatan ini pada 1-2 November 2021.
Selain masalah pendaan, Indonesia juga mengangkat isu penetapan aturan untuk memperkuat integritas pasar karbon dan menciptakan mekanisme carbon offset global yang baru. Lalu, ada juga isu mengenai pembiayaan adaptasi (adaptation fund) yang sangat rendah dibanding dengan dana mitigasi.
Masyita menyebut biaya yang telah dikeluarkan dari negara maju untuk adaptasi perubahan iklim tidak mencapai setengah dari dana yang telah dikeluarkan untuk mitigasi perubahan iklim. Data ini dikutipnya dari laporan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Untuk itulah, ia menyebut Indonesia mendukung pembahasan dari kedua isu tersebut dan mendorong pembentukan mekanisme yang didasarkan oleh prinsip common but differentiated responsibility. “Artinya semua negara memiliki tujuan yang sama tapi memiliki tanggung jawab yang berbeda,” kata dia.