Pandemi Covid-19 adalah momentum untuk mereformasi perekonomian Indonesia agar dalam jangka panjang Indonesia bisa menjadi negara maju. Sebagaimana yang disampaikan Prof. Suahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan, Indonesia keluar dari bukan hanya untuk cari selamat, tapi kita menggunakan momentum Covid ini untuk mengubah diri kita sehingga anggaran kita menjadi lebih efisien dan membangun lebih banyak.
Suahasil juga menyampaikan bahwa APBN harus memiliki daya ungkit yang lebih tinggi lagi untuk pekerjaan, infrastuktur dan lain sebagainya agar Indonesia keluar dari jebakan negara middle income. Meski perekonomian seluruh negara akan turun di kuartal II sebagai dampak pandemi, diharapkan perekonomian Indonesia tidak seburuk kontraksi ekonomi yang dialami oleh negara lain. Ketika perekonomian dunia mulai pulih, Indonesia bisa mengejar pertumbuhan ekonomi negara-negara maju.
Indonesia merupakan negara yang paling tidak senang berutang. Sebelum pandemi Covid-19, Indonesia hanya diperbolehkan memiliki defisit 3% dan pada pelaksanaannya Indonesia hanya memiliki defisit anggaran sekitar 1.5 hingga kurang dari 3%. Namun, di era pandemi ini Pemerintah meringankan beban dunia usaha dan masyarakat dengan memberikan insentif pajak sehingga potensi penerimaan negara berkurang. Indonesia termasuk negara yang tidak mau berutang terlalu banyak, bahkan pada masa yang sulit. Sekarang menghadapi COVID-19, kebutuhan kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan dunia usaha meningkat. Oleh karena itu, Pemerintah meminta izin kepada masyarakat dengan adanya peningkatan defisit menjadi 6%.
Filosofi mengambil hutang Indonesia untuk saat ini berarti meminjam dari masa depan. Hingga saat ini, Pemerintah masih membayar hutang yang pernah diambil pada masa krisis ekonomi tahun 1998/1999. Saat itu posisi rasio hutang Indonesia mendekati 100% dari GDP. Saat ini Indonesia lebih baik karena posisi rasio hutang Indonesia sekitar 35% dari GDP.
Meski terpaksa harus berhutang, yang paling penting adalah apakah kebijakan mengambil hutang itu justifiable. Hutangnya dipakai untuk apa? Kalau untuk foya-foya, maka tidak justifiable. Tapi kalau untuk meng-upgrade 132 rumah sakit supaya siap menangani COVID-19, untuk beli ventilator, untuk memberikan perlindungan sosial, ini justified. Kita meminjam dari masa depan untuk kesehatan masyarakat dan menyelamatkan bangsa.
Selain itu, benefit dari utang saat ini dapat lebih tinggi dan tujuan utang tidak hanya yang bisa dihitung dalam nominal return karena kesehatan masyarakat dan menyelamatkan nyawa masyarakat itu tidak bisa dihitung hanya dengan nominal return.
Untuk menangani pandemi Covid-19 ini, Pemerintah menomorsatukan penanganan kesehatan masyarakat akibat pandemi. Pemerintah menyiapkan segala hal yang dibutuhkan seperti melakukan upgrade rumah sakit dan menyediakan APD. Itu membutuhkan tambahan anggaran di bidang kesehatan. Setelah mengalokasikan anggaran untuk bidang kesehatan, Pemerintah memberikan bantuan dalam ekonomi. Muncul seperangkat kebijakan perlindungan sosial, baik melalui program yang sudah berjalan maupun program-program baru untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat sebagai dampak pandemi.
Setelah mengamankan alokasi anggaran kesehatan untuk penanganan pandemi dan mengurangi beban hidup masyarakat lewat program perlindungan sosial, Pemerintah memberikan dukungan untuk dunia usaha. Misalnya, dengan mengurangi beban pajak, memberikan insentif pajak, dan juga dukungan terhadap UMKM melalui kebijakan subsidi bunga dan penjaminan dari pemerintah jika UMKM membutuhkan tambahan modal sebagai jump start kegiatan usahanya kembali. Apalagi saat kegiatan ekonomi mulai bergeliat lagi setelah pelonggaran PSBB.
Hal-hal inilah yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengantisipasi krisis ekonomi yang terjadi. Pandemi Covid-19 tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Pemerintah berusaha memiliki APBN yang fleksibel untuk menangani dan mengurangi dampak pandemi ini secara baik.
Baca juga: Menyongsong Pertumbuhan Ekonomi 8% di Indonesia, Mungkinkah?