Kementerian Keuangan RI dan Asian Development Bank (ADB) menyelenggarakan Konferensi Perubahan Iklim Internasional 2021, dengan tema A Just and Affordable Transition toward Net Zero pada tanggal 22 Juli 2021. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, yang juga merupakan Sherpa dalam Koalisi Kementerian Keuangan untuk Perubahan Iklim, Masyita Crystallin mendapat kehormatan untuk menjadi moderator pada sesi kedua pleno. Para Narasumber yang hadir pada sesi ini menyampaikan berbagai perkembangan tanggapan dan pandangan atas upaya Indonesia dalam melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon, serta mencapai pemulihan pandemi yang lebih hijau, lebih tangguh, dan inklusif, sebagai prakarsa dan reformasi kebijakan terkait isu dan agenda perubahan iklim. Narasumber yang hadir pada sesi kedua berasal dari Kementerian terkait yang mengidentifikasi pengurangan dan penyerapan emisi spesifik sektor prioritas yang selaras dengan NDC serta dihubungkan dengan pemulihan yang lebih sustainable.
Narasumber yang hadir pada sesi tersebut antara lain:
- Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Bu Laksmi Dhewanthi;
- Dirjen Kelistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Pak Rida Mulyana;
- Dirjen Sarana dan Prasarana, Kementerian Pertanian RI, Pak Ali Jamil;
- Kepala Biro perencanaan Keuangan dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI, Pak Rachman Arief Dienaputra.
Konferensi selengkapnya dapat dilihat pada rekaman di bawah atau dapat diakses melalui situs ADB [tautan].
***
Artikel diambil dari situs Kementerian Keuangan RI mengenai Konferensi Perubahan Iklim Internasional 2021, yang dipublikasi pada 22 Juli 2021. [tautan]
Menuju Emisi Nol Karbon, Kemenkeu dan ADB Gelar Konferensi Perubahan Iklim Internasional
Jakarta, 22 Juli 2021 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Asian Development Bank (ADB) menggelar 2021 International Climate Change Conference, dengan tema A Just and Affordable Transition toward Net Zero. Konferensi virtual yang diikuti oleh peserta dari sektor publik dan swasta, mitra pembangunan, think-tank, dan akademisi, menjadi wadah untuk membahas isu tantangan perubahan iklim. Para narasumber membahas praktik-praktik yang dilakukan di dunia internasional untuk dapat membantu negara-negara berkembang bertransisi ke ekonomi rendah karbon, dan mengejar pemulihan dari Covid-19 yang lebih hijau, tangguh, dan inklusif.
Saat ini, pandemi Covid-19 masih memberikan tantangan yang besar bagi seluruh negara di dunia. Namun, isu perubahan iklim juga sangat penting karena implementasi pemulihan hijau dapat menjadi pendorong transformasi ekonomi dunia. Menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara Indonesia telah, dan akan terus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon, dan mencapai negara yang tahan iklim menuju ekonomi rendah karbon.
“Indonesia telah melakukan upaya yang kuat untuk transisi ke ekonomi rendah karbon. Pada tahun 2016, kami menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) pertama kami ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan target pengurangan emisi 29 persen tanpa dukungan internasional dan 41 persen dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan business-as-usual baseline di tahun 2030,” jelas Wamenkeu. Saat ini, isu perubahan iklim telah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 dan Pemerintah telah menetapkan Rencana Aksi nasional, baik mitigasi maupun adaptasi. “Dalam waktu dekat, kami akan menggunakan fase pemulihan ini pasca pandemi Covid-19 untuk mengejar agenda iklim dan keberlanjutan kami,” tambah Wamenkeu.
Di kesempatan yang sama, Presiden ADB Masatsugu Asakawa menyerukan kepada negara-negara di Asia dan Pasifik untuk mengambil tindakan tegas untuk mengatasi perubahan iklim sambil memastikan pertumbuhan ekonomi yang adil dan merata di tengah pandemi COVID-19. “Pandemi memberi kita kesempatan unik untuk membangun kembali melalui pemulihan yang hijau, tangguh, dan inklusif, tetapi ini akan menuntut kawasan kita untuk mengambil peran utama, sebagai bagian dari kerja sama global yang kuat,” kata Presiden Asakawa. “Indonesia dapat memimpin dengan memberi contoh melalui kepemimpinan G20 yang akan datang di tahun 2022 dan ASEAN di tahun 2023. ADB berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada Indonesia melalui sovereign yang kami miliki dan operasi sektor swasta, serta saling berbagi pengetahuan,” tambahnya.
Dalam sesi plenari pertama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan pentingnya strategi pendanaan dibutuhkan untuk mencapai target NDC terutama bagi emerging countries seperti Indonesia. “Banyak inisiatif yang telah kita lakukan (terkait pendanaan), tidak hanya saat ini tetapi sejak beberapa tahun yang lalu. Sehingga ketika berbicara pemulihan hijau, Indonesia telah melakukan berbagai upaya tersebut. Kita harus memanfaatkan momentum pandemi ini untuk bisa pulih dengan lebih hijau,” ujar Febrio. Indonesia saat ini sedang menyusun Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim (Climate Change Fiscal Framework/CCFF) untuk memperkuat pembiayaan berkelanjutan demi mencapai SDGs, termasuk NDC, dan bahkan emisi nol karbon. CCFF akan menetapkan strategi kebijakan untuk memobilisasi pembiayaan publik dan swasta untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan kerangka ini, insentif fiskal, subsidi, dan pajak semuanya akan diarahkan untuk menciptakan lingkungan investasi yang menguntungkan bagi sektor hijau.
Untuk mempercepat investasi hijau di Indonesia, agenda reformasi dalam kebijakan fiskal sudah dimulai secara intensif. Di tahun 2016, Indonesia telah melakukan penandaan anggaran iklim. Selama 5 tahun terakhir, belanja negara untuk penanganan perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1% dari APBN. Untuk menarik pendanaan dari sektor swasta, Pemerintah Indonesia antara lain memberikan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas PPN untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan di Indonesia serta insentif pajak untuk mobil listrik. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia juga sedang menyusun mekanisme nilai ekonomi (carbon pricing) dan pajak karbon. Sementara itu di sisi pembiayaan APBN, pemerintah telah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang di antaranya digunakan membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi bencana, pengelolaan limbah, akses energi sumber terbarukan, dan efisiensi energi. Indonesia juga telah menjalin kemitraan untuk akses pendanaan internasional seperti yang berasal dari Green Climate Fund melalui BKF Kemenkeu, dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Untuk semakin menarik pendanaan non-APBN, Indonesia mengembangkan kerangka keuangan berkelanjutan (sustainable finance) dengan menyiapkan enabling environment berupa taksonomi hijau di tingkat nasional.