Pada Selasa, 14 Februari 2023, Masyita mengikuti rangkaian kegiatan IMF-JICA Joint Conference on Recovery From the Pandemic in Developing Asia: Achieving Inclusive and Sustainable Growth with Sound Fiscal Management di Tokyo, Jepang. Konferensi yang diselenggarakan oleh IMF (International Monetary Fund) dan JICA (Japan International Cooperation Agency) ini dihadiri oleh Menteri dan Gubernur Bank Sentral negara-negara Asia Pasifik hingga petinggi-petinggi IMF dan JICA. Tujuan dari konferensi ini adalah untuk mendiskusikan perkembangan negara-negara Asia Pasifik pasca pandemi Covid-19. Berurutan dengan Bu Menkeu Sri Mulyani yang menjadi panelis pembicara di sesi satu, Masyita menjadi panel diskusi di sesi selanjutnya yaitu sesi dua. Sesi pertama mengambil tema “Economic Setbacks from the Pandemic and Fiscal Policies During the Exit Stage” dan sesi kedua memiliki tema “The Role of Fiscal Policy in Addressing Climate Change Challenges and Ensuring a Shift to a More Resilient Economy”.
Potensi Kerugian Akibat Perubahan Iklim
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki risiko tinggi terhadap dampak perubahan iklim, terutama kenaikan permukaan laut. 65% penduduk Indonesia tinggal di area pesisir pantai, sedangkan permukaan air laut naik 0,8-1,2cm pertahunnya. Kenyataan ini sangat menggambarkan besarnya potensi kerugian Indonesia akibat perubahan iklim di masa mendatang. Bahkan, Indonesia diprediksi akan mengalami kerugian sebesar Rp132 triliun tiap tahunnya pada tahun 2050. Memiliki efek domino, imbas dari perubahan iklim ini juga akan mengancam ketahanan air, ketahanan pangan, ekosistem daratan, laut, hingga kesehatan masyarakat.
Respon Kebijakan Indonesia Terhadap Perubahan Iklim
Pada sesi kedua, Masyita terlibat dalam diskusi yang dipimpin oleh Vitor Gaspar (IMF FAD) dengan topik “Fiscal Policies to Support Climate Goals and Climate Finance in the Post Pandemic Era”, bersama dengan Era Dabla-Norris (Assistant Director, APD, IMF), Hiromichi Muraoka (Senior Deputy Director General, Southeast Asia and Pacific Department, JICA), Ibrahim Ameer (Ministry of Finance, Maldives), Ahmed Jamal (Deputy Governor, Bangladesh), Ram Prasad Ghimire (Secretary, Ministry of Finance, Nepal).
Masyita berkesempatan untuk berbagi pengalaman Indonesia dalam merespon perubahan iklim melalui kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan fiskal. Secara umum, Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian terkait perubahan iklim , mulai dari UNFCCC, Protokol Kyoto, hingga Perjanjian Paris. Di semester dua tahun 2022 lalu, Indonesia juga telah meningkatkan komitmennya melalui Enhanced NDC yang berisikan target pengurangan emisi 31,89% dengan mandiri dan 43,20% dengan bantuan internasional.
Untuk menjalankan komitmen Indonesia dalam perubahan iklim, diperlukan andil kebijakan fiskal di dalamnya. Hingga saat ini, Indonesia telah menerapkan dan tengah mengembangkan kebijakan-kebijakan fiskal yang mendukung pendanaan iklim. Indonesia telah menyiapkan anggaran pendanaan iklim atau climate budget tagging untuk pemerintah. Selain itu, Indonesia juga telah mencetak rekor sebagai penerbit sukuk hijau pertama di dunia dan SDG bond sebagai instrumen pembiayaan iklim.
Indonesia juga berupaya mendorong ekosistem pembiayaan di luar pemerintah yang bisa mendukung penanganan perubahan iklim. Ini tercermin dalam Indonesia Environment Fund (IEF) atau Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), SDG Indonesia One yang merupakan blended finance, hingga berpartner dengan Green Climate Fund (GCF) yang merupakan platform global.
Tidak sampai di sana, Indonesia juga mendorong penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mengejar target pengurangan emisi di Indonesia. NEK telah diatur dalam Peraturan Presiden 98/2021 dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan no.7 tahun 2021 yang mencakup regulasi pajak karbon di Indonesia. Sedangkan ETM country platform telah dirilis pada 14 November 2022 lalu, bersamaan dengan KTT G20 di Bali. Untuk melaksanakan ETM, Indonesia menjalin kerjasama dalam JETP (Just Energy Transition Partnership) yang juga diresmikan pada KTT G20 lalu.
Masyita menyampaikan bahwa Indonesia tidak dapat berdiri sendiri untuk melawan imbas perubahan iklim. Untuk itu, peningkatan kerjasama pemerintah Indonesia dengan berbagai pihak akan sangat bermanfaat untuk memperluas sumber pembiayaan iklim.