Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran lima persen dianggap belum optimal. Indonesia perlu perubahan struktur ekonomi yang terkait dengan infrastruktur industri dan pemerataan. Hal tersebut terungkap dalam Diskusi 100 Ekonom Perempuan Memandang Indonesia Ke Depan, yang dihadiri sekitar 200 peserta, baik itu ekonom, pengusaha, akademisi, profesional, maupun NGO di Hotel Century, Jakarta, Selasa (26/3/2019).
Dari seratus ekonom perempuan yang hadir, sepuluh di antaranya memberikan pemikirannya dalam diskusi tersebut. Mereka adalah Masyita Crystallin, Hendri Saparini (Ekonom Core Indonesia), Amalia Adininggar (Ekonom Bappenas), Aviliani (Ekonom Senior Indef), Denni P. Purbasari (Ekonom KSP), Ninasapti Triaswati (Ekonom UI), Enny Sri Hartarti (Ekonom ISEI), Destry Damayanti (Ekonom LPS), Asfi Manzilati (Ekonom Unbraw), Moekti P. Soejachmoen (Ekonom Mandiri Institute).
Menurut Hendri Saparini dari CORE Indonesia, kualitas pertumbuhan ekonomi biasanya diiringi dengan beberapa indikator dari aspek sosial ekonomi. Misalnya, berkurangnya tingkat kemiskinan, jumlah pengangguran, hingga rasio gini. Termasuk perubahan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan peran sektor industri sebagai motor penggerak perekonomian.
“Intinya pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mampu mengoptimalkan semua potensi sektoral untuk menjadikan Indonesia segara produsen, yang didukung oleh potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang kuat dan memanfaatkan teknologi untuk mendorong semua potensi yang dimiliki,” jelas Hendri. Ini tentu tidak terlepas dari sistem pendidikan Indonesia. Apalagi sekarang Pemerintah aktif mempromosikan pendidikan vokasional untuk menguatkan industri Indonesia.
Amalia A. Widyasanti, ekonom Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mengatakan jika ada perubahan struktur ekonomi, maka tidak ada keraguan pertumbuhan ekonomi itu berkualitas. Untuk itu, reformasi struktural ekonomi menjadi sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan tumbuh berkelanjutan. “Ekonomi Indonesia tidak bisa bergantung kepada perkembangan ekonomi global, sehingga diperlukan penguatan ekonomi domestik. Caranya, dengan mereformasi struktur ekonomi, teknologi dan kualitas SDM,” kata Amalia.
Masyita Crystallin menambahkan stabilitas harga kebutuhan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini. Inflasi hanya berkisar 3%-3,5 persen, bahkan Maret tahun ini hanya 2,47%. “Jadi pertumbuhan cukup baik, tingkat pengangguran turun, tingkat kemiskinan turun, gini rasio turun, inflasi juga turun. Ini menunjukkan bahwa perekonomian nasional sudah on the track,” papar Masyita.
Masyita menambahkan, pemerintah bahkan membangun penyebaran kawasan ekonomi dari barat hingga ke timur, tidak sekadar di Jawa saja, sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur industri. Dengan demikian, ke depan pemerintah sudah meletakan dasar untuk pengembangan perekonomian yang cepat dan lebih merata, yaitu kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, dan kawasan pariwisata strategis nasional.
Menurut Masyita, konsumsi saat ini masih cukup tinggi, bahkan bisa lebih tinggi dari 5,05%, karena pada semester I/2019 konsumsi rumah tangga akan terpengaruh oleh penyelenggaraan Pemilu. “Investasi juga diperkirakan lebih tinggi, tetapi impornya tidak akan setinggi tahun lalu,” ungkap ekonom DBS yang kini menjadi staf khusus Menteri Keuangan Bidang Fiskal dan Makroekonomi.
Dia mengingatkan agar pemerintah melakukan diversifikasi struktur ekspor dari kebergantungan terhadap ekspor komoditas. Termasuk meningkatkan ekspor dengan value added yang tinggi. Selain itu juga perlu melakukan revitalisasi sektor manufaktur berorientasi ekspor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar.
0 Comments